Resistensi antibiotik
Resistensi adalah mekanisme tubuh yang secara keseluruhan membuat rintangan untuk berkembangnya penyerangan atau pembiakan agent menular atau kerusakan oleh racun yang dihasilkannya. Resistensi antibiotika timbul bila suatu antibiotika kehilangan kemampuannya untuk secara efektif mengendalikan atau membasmi pertumbuhan bakter; dengan kata lain bakteri mengalami “resistensi” dan terus berkembangbiak meskipun telah diberikan antibiotika dalam jumlah yang cukup untuk pengobatan.
Resistensi antibiotik meningkat di sejumlah patogen makanan. Hal tersebut ditunjukan pada kasus yang terjadi di inggris dan wales pada tahun 1981 dan 1994 :
Pada tahun 1984, turunan Salmonella typhimurium DT104 resisten terhadap antibiotik seperti ampicillin, chloramphenicol, streptomycin, sulphonamides dan tetracyline (R-type ACSSuT). Bakteri ini pertamakali diisolasikan di Inggris yang diperoleh dari hewan ternak seperti babi, daging unggas dan berbagai makanan manusi. Pada tahun 1995, jumlah isolasi bakteri ini naik hingga 3000. Kenaikan ini juga ditandai dengan resistennya bakteri tersebut terhadap antibiotik trimethorpin dan ciprofloxacin. Turunan lain dari Salmonella hadar mengalami resisten terhadap antibiotik jenis ciprofloxain, kemudian bakteri lain Salmonella serovar juga mengalami resisten terhadap antibiotik ini. Hal yang sama juga terjadi pada bakteri Campylobacter spp. di Belanda, Spanyol dan Austria. Hal tersebut masuk akal terjadi karena pemberian enrofloxacin (antibiotik lain flouroquinolone) pada makanan hewan mengakibatkan Salmonella menjadi reisiten terhadap antibiotik ciprofloxacin. Awalnya penggunaan enrofloxacin dibatasi di Eropa, namun mendapat lisensi untuk dipakai di Inggris pada tahun November 1993. Sejak saat itu frekuensi reisisten bakteri Salmonella typhimurium terhadap antibiotik ciprofloxacin meningkat dari nol menjadi 14%.
Pada jurnal “Pola Resistensi Salmonella typhi yang Diisolasi dari Ikan Serigala (Hoplias malabaricus) terhadap Antibiotik” , dijelaskan bahwa resistensi Salmonella typhi pada ikan serigala menggambarkan dua hal yaitu pertama, bahwa bakteri yang menginfeksi ikan telah resisten sebelumnya. Bakteri ini dapat berasal dari lingkungan dan hospes (manusia dan hewan). Kedua, bahwa bakteri mengalami proses resistensi di dalam tubuh ikan akibat pemberian antibiotik yang kurang tepat dan berkepanjangan. Sedangkan antibiotik streptomycin, gentamycin, dan chlorampenicol memiliki sensitivitas yang tinggi dalam menghambat bakteri S. typhi dengan diameter hambat berturut-turut 16 mm, 21 mm dan 25 mm. (Monica et al., 2013)
Pengobatan infeksi bakteri dapat diberikan antibiotik baik yang bersifat bakteriostatik maupun bakteriosidal. Namun penggunaan antibiotik pada manusia dan hewan yang kurang bijak menimbulkan munculnya mikroorganisme resisten, tidak hanya mikroba sebagai target antibiotik tersebut, tetapi juga mikroorganisme lain yang memiliki habitat yang sama dengan mikroorganisme target .Penggunaan antibiotik dalam jumlah besar kurang efisien, tidak ekonomis, dan mengakibatkan bertambahnya jenis bakteri yang resisten, serta dapat mencemari lingkungan (Yuhana, 2008). Kejadian resisten antibotik mengakibatkan obat tidak mampu menghambat atau membunuh bakteri yang bersangkutan sehingga pengobatan akan sia-sia (Besung, 2009). Resistensi antimikroba telah menjadi masalah global. Strategi untuk menghindari resistensi adalah menemukan inovasi dan antimikroba baru (Devendr et al., 2011). Produksi antibiotika baru yang berasal dari fitofarmaka (tanaman obat) merupakan alternatif yang perlu dipertimbangkan.
Resistensi ini biasanya berawal dari kesalahan diagnosa dalam menentukan antibiotik yang tepat dalam menangani suatu penyakit, selain itu beberapa faktor yang mendukung antara lain :
- Penggunaannya yang kurang tepat (irrasional) : terlau singkat, dalam dosis yang terlalu rendah, diagnose awal yang salah, potensi yang tidak kuat.
- Penggunaannya untuk hewan dan binatang ternak : antibiotik juga dipakai untuk mencegah dan mengobati penyakit infeksi pada hewan ternak. Dalam jumlah besar antibiotik digunakan sebagai suplemen rutin untuk profilaksis atau merangsang pertumbuhan hewan ternak. Bila dipakai dengan dosis subterapeutik, akan meningkatkan terjadinya resistensi.
- Penggunaan monoterapi : dibandingkan dengan penggunaan terapi kombinasi, penggunaan monoterapi lebih mudah menimbulkan resistensi.
- Pengawasan : lemahnya pengawasan yang dilakukan pemerintah dalam distribusi dan pemakaian antibiotika. Misalnya, pasien dapat dengan mudah mendapatkan antibiotika meskipun tanpa peresepan dari dokter. Selain itu juga kurangnya komitmen dari instansi terkait baik untuk meningkatkan mutu obat maupun mengendalikan penyebaran infeksi (Kemenkes RI, 2011).
Mekanisme resistensi oleh bakteri dapat melalui beberapa cara:
- Bakteri mensintesis suatu enzyme inaktivator atau penghancur antibiotik. Misalnya Staphylococcy, resisten terhadap Penicilin G menghasilkan β-Laktamase yang merusak obat tersebut. β-Laktamase lain dihasilkan oleh bakteri batang gram negatif.
- Bakteri melakukan mutasi genetic sehingga sasaran antibiotik tidak bekerja.
- Terjadinya perubahan permeabilitas bakteri terhadap obat tertentu. misalnya tetrasiklin, tertimbun dalam bakteri yang rentan tetapi tidak pada bakteri yang resisten.
- Bakteri mengembangkkan suatu perubahan struktur sasaran bagi obat. Misalnya resistensi kromosom terhadap aminoglikosida berhubungan dengan hilangnya (atau perubahan) protein spesifik pada subunit 30s ribosom bakteri yang bertindak sebagai reseptor pada organisme yang rentan.
- Terjadinya perubahan pada metabolic pathway yang menjadi target obat,misalnya kuman yang resisten terhadap obat golongan sulfonamida, tidak memerlukan PABA dari luar sel, tapi dapat menggunakan asam folat, sehingga sulfonamida yang berkompetisi dengan PABA tidak berpengaruh pada metabolisme sel.
- Bakteri mengembangkan perubahan enzim yang tetap dapat melakukan fungsi metabolismenya tetapi lebih sedikit dipengaruhi oleh obat dari pada enzim pada kuman yang rentan. Misalnya beberapa bakteri yang rentan terhadap sulfonamid, dihidropteroat sintetase, mempunyai afinitas yang jauh lebih tinggi terhadap sulfonamid dari pada PABA (Jawetz, 1997).
DAFTAR PUSTAKA
Besung NK. 2009. Kejadian Kolibasilosis Pada Anak Babi. Majalah Ilmiah Peternakan. Vol 13. No 1. Hal:1-7.
Devendr BN,. Rinivas N,. Talluri VSSLP, and Latha PS. 2011. Antimicrobial Activity Of Moringa Oleifera Lam., Leaf Extract, Against Selected Bacterial and Fungal Strains. International Journal of Pharma and Bio Sciences. ISSN 0975 – 6299.
Jawetz, E. 1997. Principle of antimicrobial drug action. Basic and clinical pharmacology. Third edition. Appleton and Lange, Norwalk.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Buku panduan hari kesehatan sedunia.
Monica, S.M., Mahatmi, H., Besung,K. 2013. Pola Resistensi Salmonella typhi yang Diisolasi dari Ikan Serigala (Hoplias malabaricus) terhadap Antibiotik. Jurnal Ilmu dan Kesehatan Hewan. Vol .1.No. 2. Hal :64-69.
Yuhana M, Normalina I, Sukenda. 2008. Pemanfaatan Ekstrak Bawang Putih Allium sativum untuk Pencegahan dan Pengobatan pada Ikan Patin Pangasionodon Hypophthalamus yang di Infeksi Aeromonas Hydropilla. IPB.Bogor.