MAKALAH PROSES THERMAL HASIL PERIKANAN “PENGERINGAN”

MAKALAH PROSES THERMAL HASIL PERIKANAN

PENGERINGAN

 

adf

Disusun Oleh        :

Sovia Indah Nurkhanifah (14/365140/PN/13697)

Wawan Kurniawan (14/365097/PN/13673)

Anisa Nada Farhah (14/365172/PN/13718)

Amara Faiz Wriahusna (14/367219/PN/13822)

Akhmad Awaludin A. (14/369621/PN/13935)

LABORATORIUM TEKNOLOGI IKAN

DEPARTEMEN PERIKANAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

2016

 

 

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Tuhan YME karena atas rahmat dan hidayahnya kami dapat menyelesaikan tugas makalah Pengeringan ini tepat pada waktunya. Makalah ini ditujukan untuk melengkapi tugas dari mata kuliah Proses Thermal Hasil Perikanan di Departemen Perikanan, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada.

Terselesaikannya makalah ini tidak lepas dari dukungan beberapa pihak yang telah membantu serta teman-teman yang terlibat dalam pembuatan makalah ini.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, oleh sebab itu kritik dan saran sangat kami harapkan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat sebagaimana mestinya. Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.

 

 

Yogyakarta, Maret 2016

 

Penyusun

 

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

 

  1. Tujuan
  2. Mengetahui perlakuan posisi ikan yang paling baik pada pengeringan ikan layang menggunakan alat pengering surya
  3. Mengetahui faktor yang mempengaruhi efisiensi pengeringan

 

 

  1. Tinjauan Pustaka

Pengeringan merupakan operasi pengurangan kadar air bahan padat sampai batas tertentu sehingga bahan tersebut bebas terhadap serangan mikroorganisme, enzim, dan insekta yang merusak. Secara lebih luas, pengeringan merupakan proses yang terjadi secara simultan (serempak) antara perpindahan panas dari udarapengeringan ke bahan yang dikeringkan dan terjadi penguapan uapair dari bahan yang dikeringkan. Pengeringan dapat terjadi karena adanya perbedaan kelembapan (humidity) antara udara kering dengan bahan yang dikeringkan (Wirakartakusumah, 1992).

Selain pengertian di atas, terdapat definisi lain mengenai pengeringan, yaitu suatu peristiwa perpindahan massa dan energi yang terjadi dalam pemisahan cairan atau kelembaban dari suatu bahan sampai batas kandungan air yang ditentukan dengan menggunakan gas sebagai fluida sumber panas dan penerima uap cairan. (Desrosier, 1988). Pengeringan sudah dilakukan sejak zaman dahulu dengan berbagai tujuan, antara lain untuk memperpanjang umur penyimpanan, meningkatkan mutu dan menjamin ketersediaan produk yang bersifat musiman.

Proses pengeringan merupakan proses pangan yang pertama dilakukan untuk mengawetkan makanan. Selain untuk mengawetkan bahan pangan yang mudah rusak atau busuk pada kondisi penyimpanan sebelum digunakan, pengeringan pangan juga menurunkan biaya dan mengurangi kesulitan dalam pengemasan,penanganan, pengangkutan, dan penyimpanan, karena denganpengeringan bahan menjadi padat dan kering, sehingga volume bahan lebih ringkas, mudah dan hemat ruang dalam pengangkutan,pengemasan maupun penyimpanan (Wirakartakusumah, 1992).

Mekanisme pengeringan adalah bagian terpenting dalam teknik pengeringan karena dengan mengetahui mekanisme pengeringan dapat diperkirakan jumlah energi dan waktu proses optimum untuk tujuan pengawetan dengan pengeringan. Energi yang dibutuhkan dalam pengeringan terutama adalah berupa energi panas untuk meningkatkan suhu dan menambah tenaga pemindahan air. Waktu proses erat kaitannya dengan laju pengeringan dan tingkat kerusakan yang dapat dikendalikan akibat pengeringan (Afrianti, 2008).

Faktor-faktor yang mempengaruhi pengeringan ada 2 golongan, yaitu: faktor yang berhubungan dengan udara pengering (suhu, kecepatan volumetrik aliran udara pengering, dan kelembaban udara), dan faktor yang berhubungan dengan sifat bahan (ukuran bahan, kadar air awal, dan tekanan parsial dalam bahan). Berikut faktor lain yang dapat mempengaruhi lamanya proses pengeringan :

  1. Luas Permukaan
  2. Perbedaan Suhu dan Udara Sekitarnya

Semakin besar perbedaan suhu antara medium pemanas dengan bahan pangan makin cepat pemindahan panas ke dalam bahan dan makin cepat pula penghilangan air dari bahan. Air yang keluar dari bahan yang dikeringkan akan menjenuhkan udara sehingga kemampuannya untuk menyingkirkan air berkurang. Jadi dengan semakin tinggi suhu 8 pengeringan maka proses pengeringan akan semakin cepat. Akan tetapi bila tidak sesuai dengan bahan yang dikeringkan, akibatnya akan terjadi suatu peristiwa yang disebut “Case Hardening“, yaitu suatu keadaan dimana bagian luar bahan sudah kering sedangkan bagian dalamnya masih basah.

  1. Kecepatan Aliran Udara

Udara yang bergerak dan mempunyai gerakan yang tinggi selain dapat mengambil uap air juga akan menghilangkan uap air tersebut dari permukaan bahan pangan, sehingga akan mencegah terjadinya atmosfer jenuh yang akan memperlambat penghilangan air. Apabila aliran udara disekitar tempat pengeringan berjalan dengan baik, proses pengeringan akan semakin cepat, yaitu semakin mudah dan semakin cepat uap air terbawa dan teruapkan.

  1. Tekanan Udara

Semakin kecil tekanan udara akan semakin besar kemampuan udara untuk mengangkut air selama pengeringan, karena dengan semakin kecilnya tekanan berarti kerapatan udara makin berkurang sehingga uap air dapat lebih banyak tetampung dan disingkirkan dari bahan pangan.

 

Untuk memperoleh kualitas pengeringan yang bagus, ada beberapa parameter yang harus dikontrol selama proses pengeringan, yaitu kecepatan aliran udara, temperatur udara pengering dan kelembaban relatif udara.

  1. Kecepatan Aliran Udara

Kecepatan aliran udara yang tinggi dapat mempersingkat waktu pengeringan. Kecepatan aliran udara yang disarankan untuk melakukan proses pengeringan antara 1,5–2,0 m/s (Abdulah, 2003).Disamping kecepatan, arah aliran udara juga memegang peranan penting dalam proses pengeringan. Arah aliran udara pengering yang sejajar dengan produk lebih efektif dibandingkan dengan aliran udara yang datang dalam arah tegak lurus produk.

  1. Temperatur Udara

Secara umum, temperatur udara yang tinggi akan menghasilkan proses pengeringan yang lebih cepat. Namun temperatur pengeringan yang lebih tinggi dari 50oC harus dihindari karena dapat menyebabkan bagian luar produk sudah kering, tapi

bagian dalam masih basah. Khusus untuk ikan, temperatur pengeringan yang dianjurkan antara 40–50oC (Abdulah, 2003).

  1. Kelembaban Relatif, RH

Pengeringan umumnya dilakukan pada kelembaban relatif yang rendah. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kecepatan difusi air. Kelembaban relatif yang rendah di dalam ruang

pengering dapat terjadi jika udara pengering bersirkulasi dengan baik dari dalam ke luar ruang pengering, sehingga semua uap air yang diperoleh setelah kontak dengan produk langsung dibuang ke udara lingkungan.

Tujuan dari pengeringan adalah

  1. Daya simpan bahan lebih lama karena kadar air dalam bahan relatif lebih rendah sehingga kerusakan enzim maupun mikroorganisme dapat lebih ditekan.
  2. Dapat dihasilkan produk yang bernilai ekonomis lebih tinggi.
  3. Mempermudah distribusi karena umumnya bahan yang telah dikeringkan mempunyai berat yang lebih ringan dan bentuk lebih ringkas.
  4. Bahan dapat lebih awal dipanen.

Ada 4 metode pengeringan yang sekarang dilakukan. Semua cara tersebut  telah disesuaikan dengan jenis komoditi dan kemampuan serta teknologi yang ada.

  1. Pengeringan Langsung atau Penjemuran (Sun Drying).

Penjemuran merupakan pengeringan alamiah dengan menggunakan sinar matahari langsung sebagai energi panas. Pengeringan secara penjemuran memerlukan tempat yang luas, wadah penjemuran yang luas serta waktu yang lama dan mutu yang sangat bergantung dengan cuaca tetapi biaya yang dikeluarkan lebih sedikit

Ada 3 macam alat pengering dengan bertenagakan sinar matahari:

  1. Tipe absorpsi dimana produk langsung dipanaskan dengan sinar    matahari.
  2. Alat pengering tidak langsung atau tipe konveksi dimana produk kontak dengan udara seperti pada alat dehidrasi konvensional.
  3. Alat pengering dengan system kombinasi kedua tipe diatas.
  4. Pengeringan Buatan (Artificial Drying)

Pengeringan buatan atau sering disebut pengeringan mekanis merupakan   pengeringan dengan menggunakan alat pengering. Tinggi rendahnya suhu, kelembaban udara, kecepatan pengaliran udara dan waktu pengeringan dapat diatur sesuai dengan komoditi yang dikeringkan.  Pengawasan yang tidak tepat dari factor diatas dapat menyebabkan case hardening yaitu suatu keadaan dimana bagian permukaan bahan telah sangat kering sedangkan bagian dalam bahan masih basah. Hal ini terjadi apabila penguapan air pada pemukaan bahan jauh lebih cepat daripada difusi air dari dalam bahan menuju permukaan.

Jenis pengeringan pengering buatan dapat dikelompokkan menjadi 2 yaitu:

  1. Pengeringan Adiabatik

Merupakan pengeringan dimana panas dibawa ke alat pengering oleh udara panas. Udara yang telah dipanaskan memberi panas pada bahan pangan yang akan dikeringkan. Alat pengering yang termasuk kelompok ini antara lain;

Ø  Pengering cabinet

Pengering ini terdiri dari suatu ruangan dimana rigen-rigen utuk produk yang dikeringkan dapat diletakkan didalannya. Didalam pengering yang berukuran besar, rigen-rigen pengering disusun diatas kereta untuk mempermudah penanganannya; dalam unit yang berukuran kecil, rigen-rigen pengering dapat disusun diatas suatu penyangga yang tetap didalam pengering tersebut. Udara dihembuskan dengan menggunakan kipas angin melalui suatu pemanas dan kemudian menembus rigen-rigen pengering yang berisi bahan. Pada umumnya pengering ini digunakan untuk penelitian dehidrasi sayuran dan buah-buahan dalam laboratorium.

Selain pengering cabinet juga ada  bed dryer, air lift dryer, maupun vertical down flow concurrent dryer.

  1. Pengeringan isothermik

Merupakan pengeringan pengeringan yang didasarkan atas adanya kontak langsung antara bahan pangan dengan lembaran logam yang panas. Pengering yang termasuk kelompokini ialah; drum dryer, shelf dryer, dan continous vacuum dryer.

 

 

  1. Pengeringan Secara Pembekuan (Freeze Drying)

Pada pengeringan ini digunakan prinsip sublimasi, dimana bahan pangan dibekukan terlebioh dulu dan air dikeluarkan dari bahan secara sublimasi dalam kondisi tekanan vakum. Jadi langsung dari bentuk padat menjadi gas atau uap, dan proses ini dilakukan dalam vakum (tekanan < 4 mmHg). Suhu yang digunakan pada system ini adalah sekitar (-10oC), sehingga kemungkinan kerusakan kimiawi maupun mikrobiologis dapat dihindari. Hal ini menyebabkan hasil mempunyai citarasa tetap dan rehidrasi yang baik.

  1. Pengeringan Secara Osmotik (Osmotic Dehydration)

Didasarkan atas proses osmosis yang dapat digunakan untuk memindahkan air dari larutan encer kelarutan yang lebih pekat melalui lapisan semipermeabel. Proses pemindahan berlangsung  sampai terjadi keseimbangan antara larutan gula dengan bahan yang dikeringkan. Dari beberapa cara diatas didasarkan atas biaya, pengeringan matahari lebih menguntungkan, tetapi didasarkan atas waktu pengeringan dan kualitas, dehidrasai lebih menguntungkan.  Selanjutnya pengeringan matahari tidak dapat dipraktekkan secara luas, karena beberapa daerah yang sesuai untuk pemukiman dan mengusahakan pertanian memiliki kondisi cuaca yang tidak baik (Desrosier et al., 1988).

 

BAB II

ISI

  1. Metodologi

Berdasarkan jurnal “Studi Pengeringan Ikan Layang (Decapterus sp.) Asin dengan Penggunaan Alat Pengering Surya” metode yang digunakan dalam jurnal tersebut adalah metode eksperimen. Bahan baku yang digunakan pada penelitian dalam jurnal tersebut antara lain ikan layang (Decapterus sp.) dengan ukuran panjang berkisar antara 15-18 cm dan berat per ekor 40-50 gram. Jumlah ikan yang digunakan adalah sebanyak 18 ekor.

Berdasarkan penelitian dalam jurnal tersebut mula-mula ikan dicuci dengan air bersih dan dibelah menjadi dua sepanjang garis punggung sampai pada bagian perut namun jangan sampai terpisah, hal tersebut bertujuan agar daging ikan tidak terlalu tebal. Kemudian seluruh isi perut dan insang dikeluarkan dan kembali ikan dicuci bersih. Setelah itu ikan direndam dalam larutan garam 15% selama 30 menit. Kemudian ikan diangkat dan ditiriskan. Selanjutnya ikan dimasukkan ke dalam alat pengering surya untuk dilakukan pengeringan. Posisi ikan ketika dimasukkan ke dalam pengering surya diberi perlakuan berbeda yaitu dengan posisi digantung dan dibentangkan pada nampan. Perlakuan posisi yang diberikan antara lain pada rak pertama, kedua, ketiga dan keempat dengan posisi ikan digantung berturut-turut adalah 1G, 2G, 3G dan 4G. Kemudian pada rak pertama, kedua, ketiga dan keempat dengan posisi ikan dibentangkan pada nampan berturut-turut adalah 1R, 2R, 3R dan 4R. Pengeringan dilakukan pada siang hari dengan suhu berkisar 21-53oC dengan waktu perlakuan selama 8 jam. Setelah proses pengeringan ikan kemudian diangkat dan dilakukan pengujian kadar air dan organoleptik.

Sementara berdasarkan jurnal “Analisis Efisiensi Pengeringan Ikan Nila Pada Pengering Surya Aktif Tidak Langsung” bahan baku yang digunakan untuk penelitian adalah ikan nila (Nile tilapia) berukuran sedang sebanyak 3 kg dengan berat per ekor antara 52-90 gram, lebar antara 6-6,5 cm dan panjang antara 10-17,5 cm. Ikan mula-mula dibelah dan dibuang insang dan isi perutnya. Kemudian ikan direndam dalam air garam dengan perbandingan ikan dan garam adalah 5:1 (untuk ikan ukuran sedang) selama kurang lebih 5 jam. Setelah itu ikan ditiriskan, dicuci sampai bersih dan disusun di atas nampan bambu.

Sebelum ikan dimasukkan ke dalam pengering surya, diambil satu sampel ikan yang telah dicuci bersih sebelumnya dan diukur kadar air awal ikan sampel tersebut dengan moisture balance (semua ikan yang akan dikeringkan dianggap mempunyai kadar air awal yang seragam). Kemudian ikan sampel ditimbang dan dicatat massa awalnya. Ikan yang dijadikan sampel diberi tanda agar selama pengujian sampel tidak tertukar dengan ikan lain. Selanjutnya baru nampan berisi ikan dimasukkan ke dalam pengering surya. Dicatat waktu dimulainya pengujian dan ditimbang perubahan massa ikan sampel setiap 15 menit. Proses pengeringan dihentikan ketika tidak ada lagi perubahan massa pada ikan sampel, ikan dianggap sudah kering. Proses pengeringan tidak hanya dilakukan dalam satu hari. Jika ikan tidak kering dalam satu hari, ikan dibiarkan tetap berada di dalam ruang pengering dengan keadaan katup saluran udara ditutup (agar tidak terjadi kontak dengan udara luar). Sebelum pengeringan dilanjutkan pada keesokan harinya, ikan ditimbang terlebih dahulu sampai baru kemudian proses pengeringan dilanjutkan kembali sampai massa ikan menjadi konstan.

 

  1. Hasil dan Pembahasan

Menurut Harikedua et al. (1991), pengeringan ikan dapat mengeluarkan atau menghilangkan sebagian air dari suatu bahan dengan cara menguapkan air dalam bahan tersebut dengan menggunakan energi panas. Menurut Moeljanto (1982), pengeringan didasari atas terjadinya penguapan air karena adanya perbedaan kandungan uap air antara udara dengan produk yang dikeringkan. Kandungan uap air udara lebih rendah dari kandungan uap air produk sehingga dapat terjadi penguapan. Makin besar perbedaan tersebut, makin banyak kandungan uap air produk yang dikeringkan dapat menguap.

Berdasarkan jurnal pertama, kadar air ikan layang asin 1G menunjukkan memiliki kadar air paling sedikit dibandingkan perlakuan lainnya yaitu sebesar 52,81%. Sementara kadar air terbesar terdapat pada ikan layang asin 1R yaitu sebesar 61,05%. Namun menurut Badan Standar Nasional (1992), kadar air ikan asin berdasarkan Standar Nasional Indonesia adalah 40%. Oleh karena itu untuk mencapai nilai kadar air yang berkualitas baik sesuai Standar Nasional Indonesia sekitar 40% sehingga perlu dilakukan tambahan waktu pengeringan (Imbir et al., 2015).

Sementara berdasarkan jurnal kedua, efisiensi pengeringan ikan nila yang didapatkan tidak begitu tinggi yaitu bervariasi antara 0,5-8,16%. Massa air ikan keseluruhan di dalam pengering surya terkecil berdasarkan penelitian dalam jurnal ditunjukkan pada pengujian ke-2 pada hari ke-5 yaitu sebesar 0,042 kg. Sementara massa air ikan keseluruhan di dalam pengering surya terbesar ditunjukkan pada pengujian ke-6 hari ke-2 yaitu sebesar 0,6948 kg. Hal tersebut dapat terjadi karena pada pengujian ke-6 tersebut hanya berlangsung selama 2 hari.

Selama pengujian, keadaan cuaca tidak menentu. Dalam satu hari kadang cerah, berawan bahkan kadang turun hujan, sehingga intensitas radiasi matahari menjadi sangat berfluktuasi. Umumnya dalam satu hari pengujian, waktu efektif yang dapat digunakan untuk pengeringan antara tiga sampai delapan jam. Selama pengujian, rata-rata intensitas radiasi matahari tertinggi terjadi pada jam 11.00-12.00. Untuk menguapkan air sampai ikan menjadi kering pada satu kali pengujian dibutuhkan waktu antara 2-5 hari. Oleh karena itu, efisiensi pengeringan dihitung per hari, karena jumlah air yang menguap dan energi matahari yang diterima ruang pengering berbeda setiap harinya (Yani et al., 2009).

 

 

BAB III

PENUTUP

 

  1. Kesimpulan

 

Ikan Layang asin yang dikeringkan selama 8 jam dalam alat pengering surya dengan perlakuan pada rak bagian atas dengan posisi ikan di gantung memiliki nilai rata-rata kadar air terendah. Nilai rata-rata organoleptik secara umum pada rak bagian tengah memiliki nilai terendah.

Efisiensi pengeringan sangat dipengaruhi oleh alat pengering. Efisiensi pengeringan dipengaruhi oleh ukuran ikan dan kapasitas ruang pengering yang digunakan. Nilai efisiensi pengeringan semakin berkurang dengan berkurangnya kadar air dalam ikan.

Perubahan suhu dalam alat pengering sangat ditentukan oleh suhu lingkungan di luar, dalam hal ini pengaruh sinar matahari yang menembus alat pengering surya yang digunakan. Suhu tertinggi pada siang hari yaitu pada jam 14.00.

 

  1. Saran

 

Saat ingin membandingkan dua jurnal, hendaknya spesies yang digunakan sama karena saat spesies ikan yang digunakan berbeda, kandungan air di dalam ikan juga berbeda

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Abdullah, K., 2003. “Fish Drying Using Solar Energy” Lectures and Workshop Exercises on Drying of Agricultural and Marine Products: Regional Workshops on Drying Technology, Jakarta. 159-191.

Afrianti, L. H. 2008. Keunggulan Makanan Fermentasi. Jakarta.

Badan Standar Nasional. 1992. Standar Nasional Indonesia (SNI) Ikan Asin Kering. Kumpulan Standar Metode Pengujian Mutu Hasil Perikanan. Jakarta.

Desroiser & Norman, W. 1988. Teknologi Pengawetan Pangan. UI Press : Jakarta

Harikedua, J. W., Kaseger B., Sanger B., Setyaningsih L., Singal A., Pandey E., Dolonseda S. 1991. Bahan Ajar Untuk Mata Kuliah Pengantar Pengolahan Hasil Perikanan. Fakultas Perikanan Universitas Sam Ratulangi. Manado.

Imbir, E., H. Onibala, J. Pongoh. 2015. Studi Pengeringan Ikan Layang (Decapterus sp.) Asin dengan Penggunaan Alat Pengering Surya. Jurnal Media Teknologi Hasil Perikanan. III(1): 13-18.

Moeljanto, R. 1982. Penggaraman dan Pengeringan Ikan. Penebar Swadaya. Jakarta.

Wirakartakusumah. 1992. Peralatan dan Unit Proses Industri Pangan.   PAU Pangan dan Gizi. IPB. Bogor.

Yani, E., Abdurrachim, A. Pratoto. 2009. Analisis Efisiensi Pengeringan Ikan Nila Pada Pengering Surya Aktif Tidak Langsung. Jurnal Teknik. II(31): 26-33.

Agustyar

Mahasiswa perikanan UGM 2014

Leave a Reply

Your email address will not be published.