TOKSIKAN ALAMI I

MAKALAH TOKSIKOLOGI DAN HIGIENE

TOKSIKAN ALAMI I

 

 

 

 

Kelompok 6 :

Freshy Mayang Sary    (14/369227/PN/13885)

Danang Adi Wibowo    (14/369618/PN/13932)

Ivana Madarina D        (14/369620/PN/13935)

Akhmad Awaludin A    (14/369621/PN/13935)

Isnin Dwi Saputri          (14/369622/PN/13936)

 

 

 

DEPARTEMEN PERIKANAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS GADJAH MADA

YOGYAKARTA

2017

 

 

  1. PENDAHULUAN

 

  1. Latar Belakang

Pangan merupakan kebutuhan manusia yang sangat mendasar karena berpengaruh terhadap eksistensi dan ketahanan hidup manusia. Bahan makanan sering juga disebut bahan pangan, dan dalam perdagangan disebut komoditi pangan, ialah apa yang kita produksi atau perdagangkan, misalnya daging, sayur, buah dan ikan. Menurut Winarno (1995) Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman untuk dikonsumsi manusia, termasuk didalamnya adalah bahan tambahan pangan,bahan baku pangan, dan bahan lain yang sengaja atau tidak disengaja bercampur dengan makanan atau minuman tersebut.

Makanan yang menarik, nikmat, dan tinggi gizinya, akan menjadi tidak berarti sama sekali jika tak aman untuk dikonsumsi. Menurut Undang-Undang No.7 tahun 1996, keamanan pangan didefinisikan sebagai suatu kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia. Sebelum makanan disajikan pada umumnya mengalami proses pengolahan baik pada suatu industri maupun pengolahan pada rumah  tangga. Proses pengolahan tersebut sangat menentukan kualitas makanan yang selanjutnya sampai pada penyajian. Oleh karena itu pembicaraan mengenai sanitasi dan hygiene makanan selama proses produksi hingga makanan siap disajikan menjadi sangat penting.

Racun adalah zat atau senyawa yang dapat masuk kedalam tubuh dengan berbagai cara yang menghambat respons pada sistem biologis sehingga dapat menyebabkan gangguan kesehatan, penyakit, bahkan bisa menyebabkan kematian. Umumnya berbagai bahan kimia yang mempunyai sifat berbahaya atau bersifat racun telah diketahui. Namun,tidak demikian halnya dengan beberapa jenis hewan dan tumbuhan , termasuk beberapa jenis tanaman pangan yang ternyata dapat mengandung racun alami, walaupun dengan kadar yang sangat rendah (Sediaoetama, 2004).

Tanaman pangan seperti sayuran dan buah-buahan memiliki kandungan nutrien, vitamin, dan mineral yang berguna bagi kesehatan manusia serta merupakan komponen penting untuk diet sehat. Meskipun demikian, beberapa jenis sayuran dan buah-buahan dapat mengandung racun alami yang berpotensi membahayakan kesehatan manusia. Racun alami adalah zat yang secara alami terdapat pada tumbuhan, dan sebenarnya merupakan salah satu mekanisme dari tumbuhan tersebut untuk melawan serangan jamur, serangga, serta predator.

 

  1. Tujuan
    • Mengetahui toksikan alami dalam bahan pangan (nabati, daging, telur dan ikan)
    • Mengetahui toksikan alami berupa racun jamur atau Mikotoksin

 

  1. Manfaat

Diharapkan dengan adanya makalah ini, mahasiswa dapat mengetahui berbagai jenis toksikan alami pada bahan pangan, gejala yang timbul jika mengkonsumsinya serta mahasiswa dapat mengetahui Mikotoksin atau racun jamur.

 

 

 

  1. PEMBAHASAN

 

  1. Pengertian Toksikan Alami

Toksikan (zat toksik) adalah bahan apapun yang dapat memberikan efek yang berlawanan (merugikan). Racun merupakan istilah untuk toksikan yang dalam jumlah sedikit (dosis rendah) dapat menyebabkan kematian atau penyakit (efek merugikan) yang secara tiba-tiba. Zat toksik dapat berada dalam bentuk fisik (seperti radiasi), kimiawi (seperti arsen, sianida) maupun biologis (bisa ular). Juga terdapat dalam beragam wujud (cair, padat, gas). Beberapa zat toksik mudah diidentifikasi dari gejala yang ditimbulkannya, dan banyak zat toksik cenderung menyamarkan diri (Candra, 2008). Racun alami adalah zat yang secara alami terdapat pada tumbuhan, dan sebenarnya merupakan salah satu mekanisme dari tumbuhan tersebut untuk melawan serangan jamur, serangga, serta predator (BPOM, 2008).

Racun Alami dari hewani, salah satunya adalah keracunan yang disebabkan oleh ikan. Keracuan tetrodotoksin (fugu poisoning) terjadi pada ikan yang termasuk dalam ordo tetraodontiformers, seperti puffer fish, Globe fish, Balloon fish (buntal), Blow fish , dan Toad fish. Efek Terhadap manusia meliputi gejala keracunan yang pertama kali muncul dalam waktu 15 menit hingga beberapa jam (bahkan mencapai 20 jam) setelah menyantap makanan yang mengandung tetrodotoksin. Gejala awal meliputi parestesi bibir dan lidah, yang berlanjut ke muka dan ekstremitas. Seterusnya terjadi pula salivasi, mual, muntah, dan diare yang disertai sakit perut. Keracunan yang disebabkan skombrotoksin (histamin) terjadi pada ikan laut yang bermotif, terutama warna gelap yang memanjang dari kepala ke pangkal ekor adalah tuna (Thunnus spp), bonito (Sarda spp), mackerel (Scomber sp), skipjack (Katsuwonus pelamis spp). Efek terhadap manusia Keracunan baru terjadi bila kandungan histmanin mencapai kadar ≥ 100 mg. meskopun demikian, kercunan pernah dilaporkan pada kadar 20 mg. gejala akan timbul dalam waktu beberapa sampai beberapa menit (biasanya 10-30 menit) jam sesudah memakan ikan. Gejala keracunan ini dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan sistem yang dirusaknya, yaitu sistem kardiovaskular serta sistem pencernaan dan saraf. Urtikaria, hipotensi, sakit kepala, dan kemerahan dapat timbul, sedangkan keterlibatan sistem pencernaan menimbulkan gejala berupa kram perut, diare, dan muntah. Rasa nyeri dan gatal yang terkait dengan urtikaria adalah wujud dari keterlibatan sistem saraf.

 

  1. Toksikan Alami Pada Bahan Pangan Nabati

2.1 Kacang merah (Phaseolus vulgaris)

Racun alami yang dikandung oleh kacang merah disebut fitohemaglutinin (phytohaemagglutinin), yang termasuk golongan lektin. Keracunan makanan oleh racun ini biasanya disebabkan karena konsumsi kacang merah dalam keadaan mentah atau yang dimasak kurang sempurna. Gejala keracunan yang ditimbulkan antara lain adalah mual, muntah, dan nyeri perut yang diikuti oleh diare. Telah dilaporkan bahwa pemasakan yang kurang sempurna dapat meningkatkan toksisitas sehingga jenis pangan ini menjadi lebih toksik daripada jika dimakan mentah. Untuk mengurangi kemungkinan terjadinya keracunan akibat konsumsi kacang merah, sebaiknya kacang merah mentah direndam dalam air bersih selama minimal 5 jam, air rendamannya dibuang, lalu direbus dalam air bersih sampai mendidih selama 10 menit, lalu didiamkan selama 45-60 menit sampai teksturnya lembut.

 

2.2 Singkong

Singkong mengandung senyawa yang berpotensi racun yaitu linamarin dan lotaustralin. Keduanya termasuk golongan glikosida sianogenik. Linamarin terdapat pada semua bagian tanaman, terutama terakumulasi pada akar dan daun. Singkong dibedakan atas dua tipe, yaitu pahit dan manis. Singkong tipe pahit mengandung kadar racun yang lebih tinggi daripada tipe manis. Jika singkong mentah atau yang dimasak kurang sempurna dikonsumsi, maka racun tersebut akan berubah menjadi senyawa kimia yang dinamakan hidrogen sianida, yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan. Singkong manis mengandung sianida kurang dari 50 mg per kilogram, sedangkan yang pahit mengandung sianida lebih dari 50 mg per kilogram. Meskipun sejumlah kecil sianida masih dapat ditoleransi oleh tubuh, jumlah sianida yang masuk ke tubuh tidak boleh melebihi 1 mg per kilogram berat badan per hari. Gejala keracunan sianida antara lain meliputi penyempitan saluran nafas, mual, muntah, sakit kepala, bahkan pada kasus berat dapat menimbulkan kematian. Untuk mencegah keracunan singkong, sebelum dikonsumsi sebaiknya singkong dicuci untuk menghilangkan tanah yang menempel, kulitnya dikupas, dipotong-potong, direndam dalam air bersih yang hangat selama beberapa hari, dicuci, lalu dimasak sempurna, baik itu dibakar atau direbus. Singkong tipe manis hanya memerlukan pengupasan dan pemasakan untuk mengurangi kadar sianida ke tingkat non toksik. Singkong yang umum dijual di pasaran adalah singkong tipe manis.

 

2.3 Pucuk bambu (rebung)

Racun alami pada pucuk bambu termasuk dalam golongan glikosida sianogenik. Untuk mencegah keracunan akibat mengkonsumsi pucuk bambu, maka sebaiknya pucuk bambu yang akan dimasak terlebih dahulu dibuang daun terluarnya, diiris tipis, lalu direbus dalam air mendidih dengan penambahan sedikit garam selama 8-10 menit. Gejala keracunannya mirip dengan gejala keracunan singkong, antara lain meliputi penyempitan saluran nafas, mual, muntah, dan sakit kepala.

 

2.4  Biji buah-buahan

Contoh biji buah-buahan yang mengandung racun glikosida sianogenik adalah apel, aprikot, pir, plum, ceri, dan peach. Walaupun bijinya mengandung racun, tetapi daging buahnya tidak beracun. Secara normal, kehadiran glikosida sianogenik itu sendiri tidak membahayakan. Namun, ketika biji segar buah-buahan tersebut terkunyah, maka zat tersebut dapat berubah menjadi hidrogen sianida, yang bersifat racun. Gejala keracunannya mirip dengan gejala keracunan singkong dan pucuk bambu. Dosis letal sianida berkisar antara 0,5-3,0 mg per kilogram berat badan. Sebaiknya tidak dibiasakan mengkonsumsi biji dari buah-buahan tersebut di atas. Bila anak-anak menelan sejumlah kecil saja biji buah-buahan tersebut, maka dapat timbul gejala keracunan dan pada sejumlah kasus dapat berakibat fatal.

 

2.5 Kentang

Racun alami yang dikandung oleh kentang termasuk dalam golongan glikoalkaloid, dengan dua macam racun utamanya, yaitu solanin dan chaconine. Biasanya racun yang dikandung oleh kentang berkadar rendah dan tidak menimbulkan efek yang merugikan bagi manusia. Meskipun demikian, kentang yang berwarna hijau, bertunas, dan secara fisik telah rusak atau membusuk dapat mengandung kadar glikoalkaloid dalam kadar yang tinggi. Racun tersebut terutama terdapat pada daerah yang berwarna hijau, kulit, atau daerah di bawah kulit. Kadar glikoalkaloid yang tinggi dapat menimbulkan rasa pahit dan gejala keracunan berupa rasa seperti terbakar di mulut, sakit perut, mual, dan muntah. Sebaiknya kentang disimpan di tempat yang sejuk, gelap, dan kering, serta dihindarkan dari paparan sinar matahari atau sinar lampu. Untuk mencegah terjadinya keracunan, sebaiknya kentang dikupas kulitnya dan dimasak sebelum dikonsumsi.

 

2.6  Tomat hijau

Tomat mengandung racun alami yang termasuk golongan glikoalkaloid. Racun ini menyebabkan tomat hijau berasa pahit saat dikonsumsi. Untuk mencegah terjadinya keracunan, sebaiknya hindari mengkonsumsi tomat hijau dan jangan pernah mengkonsumsi daun dan batang tanaman tomat.

 

2.7 Parsnip (semacam wortel)

Parsnip mengandung racun alami yang disebut furokumarin (furocoumarin). Senyawa ini dihasilkan sebagai salah satu cara tanaman mempertahankan diri dari hama serangga. Kadar racun tertinggi biasanya terdapat pada kulit atau lapisan permukaan tanaman atau di sekitar area yang rusak. Racun tersebut antara lain dapat menyebabkan sakit perut dan nyeri pada kulit jika terkena sinar matahari. Kadar racun dapat berkurang karena proses pemangganganmatau perebusan. Lebih baik bila sebelum dimasak, parsnip dikupas terlebih dahulu.

 

2.8 Seledri

Seledri mengandung senyawa psoralen, yang termasuk ke dalam golongan kumarin. Senyawa ini dapat menimbulkan sensitivitas pada kulit jika terkena sinar matahari. Untuk menghindari efek toksik psoralen, sebaiknya hindari terlalu banyak mengkonsumsi seledri mentah, dan akan lebih aman jika seledri dimasak sebelum dikonsumsi karena psoralen dapat terurai melalui proses pemasakan.

 

2.9 Zucchini (semacam ketimun)

Zucchini mengandung racun alami yang disebut kukurbitasin (cucurbitacin). Racun ini menyebabkan zucchini berasa pahit. Namun, zucchini yang telah dibudidayakan (bukan wild type) jarang yang berasa pahit. Gejala keracunan zucchini meliputi muntah, kram perut,  diare, dan pingsan. Sebaiknya hindari mengkonsumsi zucchini yang berbau tajam dan berasa pahit.

 

  1. 10 Bayam

Asam oksalat secara alami terkandung dalam kebanyakan tumbuhan, termasuk bayam. Namun, karena asam oksalat dapat mengikat nutrien yang penting bagi tubuh, maka konsumsi makanan yang banyak mengandung asam oksalat dalam jumlah besar dapat mengakibatkan defisiensi nutrien, terutama kalsium. Asam oksalat merupakan asam kuat sehingga dapat mengiritasi saluran pencernaan, terutama lambung. Asam oksalat juga berperan dalam pembentukan batu ginjal. Untuk menghindari pengaruh buruk akibat asam oksalat, sebaiknya kita tidak mengkonsumsi makanan yang mengandung senyawa ini terlalu banyak.

 

Tabel 2.2 Racun alami pada tanaman dan gejala keracunannya

Racun Terdapat pada tanaman Gejala keracunan
Fitohemaglutinin Kacang merah Mual, muntah, nyeri perut,diare.
Glikosida sianogenik Singkong, rebung, biji buah-buahan(apel, aprikot, pir,plum, ceri, peach) Penyempitan saluran nafas,mual, muntah, sakit kepala.
Glikoalkaloid Kentang, tomat hijau Rasa terbakar di mulut, sakitperut, mual,muntah.
Kumarin Parsnip, seledri Sakit perut, nyeri pada kulitjika terkena sinar matahari.
Kukurbitasin Zucchini Muntah, kram perut, diare,pingsan.
Asam oksalat Bayam, rhubarb, the Kram, mual, muntah, sakit kepala.

 

 

  1. Toksikan Alami Pada Bahan Pangan Daging

Racun dalam daging umumnya tidak diproduksi oleh hewan itu sendiri, tetapi sebagai akibat penambahan senyawa tertentu (misalnya nitrat atau nitrit) saat pengolahan. Penyebab lain adalah kontaminan, seperti: faktor toksik pada tanaman yang dikonsumsi oleh hewan, pestisida yang digunakan pada tanaman dan kemudian dikonsumsi oleh hewan, hidrokarbon polisiklik yang terbentuk selama pemasakan atau pemanggangan daging, antibiotika, dan senyawa karsinogen (penyebab kanker).

Sendawa (senyawa nitrat) merupakan bahan kimia yang sering digunakan sebagai bumbu dalam pembuatan corned (proses curing), sosis, bacon, ham, dan meat tenderizer. Di pasaran, sendawa juga dikenal dengan sebutan salpeter atau Chili-salpeter, sedangkan dalam bahasa kimianya dikenal sebagai garam kalium nitrat (chili-salpeter) atau natrium nitrat (Bengal Salpeter).

Sendawa menyebabkan warna daging menjadi lebih menarik seperti warna asalnya. Warna merah tersebut karena garam nitrit (bukan garam nitrat). Penambahan sendawa juga bertujuan untuk mencegah pertumbuhan mikroba.

Baik dalam makanan maupun di saluran pencernaan, sendawa mudah diubah menjadi nitrit, yatu senyawa yang tergolong sebagai racun. Nitrit, khususnya nitroso yang terserap ke dalam darah akan mengubahg hemoglobin darah manusia menjadi methemoglobin yang tidak mempunyai kemampuan untuk mengangkut oksigen. Hal ini dapat menyebabkan tubuh kekurangan oksigen. Penderita menjadi pucat, sesak napas, muntah. Dalam keadaan parah dapat menyebabkan kematian bila kadar methemoglobin lebih dari 70%.

Daging panggang, barbeque, sate, dan ikan asap yang dibuat diatas api, dapat terkontaminasi oleh karsinogen pada jelaga. Jelaga ini merupakan hasil pembakaran bahan organik yang tidak sempurna. Pada pembakaran daging yang dihasilkan senyawa benzopyrene, yang bersifat karsinogen kuat. Untuk menhindari terbentuknya benzopyrene, disarankan agar daging tidak dipanggang di atas nyala api melainkan dibawahnya. Dengan cara ini lemak daging yang menetes tidak mengenai api yang dapat membentuk jelaga yang bersifat karsinogenik.

 

  1. Toksikan Alami Pada Bahan Pangan Telur

4.1 Salmonella

Salmonella adalah suatu bakteri yang dapat menimbulkan keracunan (Salmonella food poisoning), dapat menyebabkan tifus dan disentri. Bakteri ini dapat menyusup ke dalam telur sewaktu telur masih dalam kandungan atau di luar kandungan, terutama apabila kebersihan kandang dan lingkungan kurang diperhatikan, sehingga apabila mengonsumsi telur mentah maka bakteri ini ikut masuk kedalam tubuh, dan menimbulkan keracunan,dengan gejala yaitu seperti mual, muntah, sakit perut, sakit kepala, kedinginan, demam, dan diare. Kandungan telor mentah pada makanan-makanan tersebut bisa menyebabkan ibu keracunan salmonella hingga sakit parah.

Untuk menghindari terjadinya keracunan salmonela, Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) mengharuskan melakukan pemanasan (pasteurisasi) minimal selama 3,5 menit pada suhu 56,7 derajat Celsius atau 6,2 menit pada suhu 55,5 derajat Celsius untuk putih telur, dan 6,2 menit pada suhu 60 derajat Celsius untuk telur utuh.

 

4.2  Zat Adivin

Zat avidin yang terkandung di dalam putih telur berguna untuk memproteksi gizi padanya. Di samping itu, zat ini dapat membunuh bakteri yang mengancam dari luar. Dampak avidin adalah mengikat biotin, sehingga menghambat penyerapan vitamin B dan mineral di dalam tubuh yang biasanya disebut dengan raw egg white injury. Hal ini dapat dicegah dengan pemberian kuning telur kering, yeast, hati, ginjal, susu bubuk. Zat avidin juga sering dituduh sebagai penyebab kebotakan, dan dermatitis (peradangan dan iritasi pada kulit). Sebagian gejala adalah timbulnya rasa gatal-gatal setelah mengkonsumsi telur setengah matang. Perlu Anda catat bahwa avidin hanya bisa dimusnahkan dengan minimal pemanasan pada suhu di atas 18 derajat celcius dalam durasi 5 menit.

 

4.3 Ovomucoid

Bahaya lain yang terdapat di dalam telur mentah adalah adanya ovomucoid, yaitu sejenis protein yang mengandung antitripsin. Zat ovomucoid dapat menimbulkan efek gatal di kulit, papula, vesikula, kulit kemerahan, dan pembengkakan. Zat ini juga dapat menimbulkan gangguan pada saluran nafas misalnya batuk. Sebagian bayi dan anak kecil alergi terhadap zat ovomucoid yang ada di dalam putih telur. Untuk menghindari alergi, rebus atau goreng telur sebelum dikonsumsi. Zat ovomucoid dapat dihilangkan dengan pemanasan pada suhu di atas 80 derajat celcius, dalam waktu 30 menit. Atau cukup memanaskan pada suhu 90 derajat selama ¼ jam saja.

 

4.4 Melamin

Melamin biasanya digunakan dalam proses pembuatan cat, plastik, atau pupuk. Diduga zat ini berasal dari pakan ayam yang masuk ke tubuh ayam hingga diteruskan ke telur. Dalam konsentrasi rendah memang kurang terlihat bahayanya, tetapi pada kadar tinggi melamin dapat menimbulkan batu ginjal, ataupun gagal ginjal. Bila seseorang terlanjur mengonsumsi kadar Melamin yang cukup tinggi, maka langkah yang harus dilakukan ada banyak-banyak minum air putih untuk membersihkan ginjal dan segera mengeluarkannya melalui air seni.

 

  1. Toksikan Alami Pada Bahan Pangan Ikan
    • Tetrodotoxin (Puffer Toxin)

Tetrodotoxin adalah toksin yang ditemukan pada beberapa spesies ikan buntal ”puffer” (Fugu sp). Lebih dari 100 spesies ”puffer fish” (famili Tetraodontidae) menyebar dari perairan sedang hingga tropis, tetapi hanya sekitar 10 spesies yang dikonsumsi, khususnya di Jepang. Jenis ikan buntal beracun yang terdapat di Indonesia, antara lain: Buntal Duren (Diodon hytrix) dari famili Diodontidae bergigi lempeng dan kuat. Namun jenis buntal ini racunnya tidak mematikan bagi hewan lain seperti amfibi /aves. Buntal Landak (Diodon holacanthus) bersirip 14, berduri lemah pada punggung, dada, pada sirip dubur terdapat 23 duri lemah. Buntal Kotak (Rhynchostrcion nasus) dan Buntal Tanduk (Tetronomus gibbosus) berduri di kepalanya termasuk famili Ostraciontidae. Buntal Kelapa (Arothron reticularis), berciri duri lemah antara 10 – 11 pada sirip punggung, 9 – 10 pada sirip dubur dan 18 pada sirip dada. Buntal Pasir (Arthron immaculatus), Buntal Tutul (A . aerostaticus) dan Buntal Pisang (Gastrophysus lunaris).

Semua jenis ikan buntal tersebut beracun, akan tetapi tingkat toksisitas diantara spesies tersebut berbeda. Ikan buntal biasanya hidup di daerah terumbu karang. Daging segar dan beberapa bagian dari tubuh ikan buntal mungkin aman dimakan dalam keadaan mentah atau dimasak. Tetapi bagian lainnya seperti kandung telur (ovari) (tertinggi, sebagai alat perlindungan diri dari pemangsa) dan hati sangat beracun, juga mata, kulit, saluran pencernaan dan jeroan lainnya.

Gejala keracunan, diawali rasa mual, muntah, mati rasa dalam rongga mulut, selanjutnya muncul gangguan fungsi saraf yang ditandai dengan rasa gatal di bibir, kaki, tangan. Gejala selanjutnya, terjadi kelumpuhan dan kematian akibat sulit bernapas dan serangan jantung. Gejala tersebut timbul selama 10 menit hingga 3 jam setelah mengkonsumsinya.

 

5.2  Paralytic Shellfish Poison

Senyawa toksik utama dari ”paralytic shellfish poison” adalah ”saxitoxin” yang bersifat ”neurotoxin”. Keracunan toksin ini dikenal dengan istilah ”Paralytic shellfish poisoning” (PSP). Keracunan ini disebabkan karena mengkonsumsi kerang-kerangan yang memakan dinoflagelata beracun. Dinoflagelata adalah agen saxitoxin dimana zat terkonsentrasi di dalamnya. Kerang-kerangan menjadi beracun di saat dinoflategelata sedang melimpah karena laut sedang pasang merah atau ‘red tide’.

Di Jepang bagian selatan ditemukan spesies kepiting (Zosimus aeneus), hewan ini mengakumulasi dalam jumlah besar saxitoxin. Dan dilaporkan menyebabkan kematian pada manusia yang mengkonsumsinya. Jenis plankton yang memproduksi saxitoxin adalah Alexandrium catenella dan A. tamarensis, Keracunan Saxitoxin menimbulkan gejala seperti rasa terbakar pada lidah, bibir dan mulut yang selanjutnya merambat ke leher, lengan dan kaki. Kemudian berlanjut menjadi mati rasa sehingga gerakan menjadi sulit. Dalam kasus yang hebat diikuti oleh perasaan melayang-layang, mengeluarkan air liur, pusing dan muntah. Toksin memblokir susunan saraf pusat, menurunkan fungsi pusat pengatur pernapasan dan cardiovasculer di otak, dan kematian biasanya disebabkan karena kerusakan pada sistem pernapasan.

 

  • Amnesic Shellfish Poison

Komponen utama dari amnesic shellfish poison adalah domoic acid. Domoic acid merupakan asam amino neurotosik, dimana keracunannya dikenal dengan istilah ”Amnesic shellfish poisoning”. Keracunan ini diakibatkan karena mengkonsumsi remis (”mussel”). Toksin ini diproduksi oleh alga laut Nitzhia pungens dimana melalui rantai makanan, mengakibatkan remis mengandung racun tersebut.

Domoic acid mengikat reseptor glutamat di otak mengakibatkan rangsangan yang terus-menerus pada sel-sel saraf dan akhirnya terbentuk luka. Korban mengalami sakit kepala, hilang keseimbangan, menurunnya sistem saraf pusat termasuk hilangnya ingatan dan terlihat bingung dan gejala sakit perut seperti umumnya keracunan makanan. Telah dilaporkan toksin tersebut juga dapat mengakibatkan kematian.

 

5.4 Neurotoxic Shellfish Poison

Komponen utama dari neurotoxic shellfish poison adalah brevitoxin. Keracunan yang disebabkan oleh toksin Brevitoxin disebut ”Neurotoxic shellfish poisoning”. Keracunan ini diakibatkan mengkonsumsi kerang-kerangan dan tiram. Toksin ini diproduksi oleh alga laut Ptychdiscus brevis dimana melalui rantai makanan mengakibatkan kerang dan tiram mengandung racun tersebut. Gejala keracunannya meliputi rasa gatal pada muka yang menyebar ke bagian tubuh yang lain, rasa panas-dingin yang bergantian, pembesaran pupil dan perasaan mabuk.

 

  • Diarrhetic Shellfish Poison

Komponen utama Diarrhetic shellfish poison adalah okadaic acid. Komponen yang lain adalah pectenotoxin dan yessotoxin. Keracunan yang disebabkan oleh toksin Okadaic acid ini disebut ”Diarrhetic shellfish poisoning”. Keracunan ini diakibatkan mengkonsumsi kepah (mussel) dan remis (scallop). Toksin ini diproduksi oleh alga laut Dinophysis fortii dimana melalui rantai makanan mengakibatkan remis mengandung racun tersebut

Senyawa dari klas okadaic acid ini mempunyai efek sebagai promotor tumor. Gejala utama keracunan DSP adalah diare yang akut, dimana serangannya lebih cepat dibandingkan dengan keracunan makanan akibat bakteri. Selain itu, mual, muntah, sakit perut, kram dan kedinginan. Hingga saat ini informasi ataupun penelitian yang berkaitan dengan cara penanganan dan atau pengolahan yang mampu untuk mencegah bahaya keracunan toksin tersebut belum banyak diperoleh

 

5.6 Ciguatera

Ciguatera disebabkan oleh ciguatoxin, suatu racun yang dihasilkan oleh alga bernama dinoflagellate, yang ditemukan di seluruh dunia. Selama bulan-bulan musim panas, dinoflagellate berkembang biak di perairan pesisir menciptakan apa yang disebut mekarnya alga. Ukuran populasinya menjadi begitu banyak sehingga airpun tampak memerah karena pigmen alganya, sebuah fenomena yang dikenal sebagai “gelombang merah”.

Ciguatera, adalah jenis paling umum dari keracunan ikan di seluruh dunia, yang mungkin didapatkan dari konsumsi ikan terumbu karang tropis, seperti kerapu, kakap, kakap putih, dan ikan kakatua termasuk salmon yang diternakkan. Setiap tahun diperkirakan 50.000 kasus terjadi secara global. Sejumlah 400 spesies laut diketahui mengandung bioaccumulate ciguatoxins, yang 1.000 kali lebih bahaya dibanding arsenik. Penyakit ini ditandai dengan gejala seperti sakit perut yang sangat hebat, mual, detak jantung di bawah normal, kejang dan pandangan kabur. Kadang kambuh dengan mengkonsumsi hidangan laut, ayam, babi, kopi atau alkohol dan mungkin terjadi selama bertahun-tahun setelah makan ikan tercemar. Ciguatoxin tahan terhadap panas dan dingin, jadi memasak, mengasapkan, mendinginkan, membekukan dan/atau pengasinan ikan beracun tidak bisa melindungi konsumen agar tidak sakit. Racun ini juga tidak terdeteksi karena tidak berbau dan terasa.

 

5.7  Scombroid

Scombroid, jenis keracunan ikan lain yang tersebar paling luas setelah ciguatera, adalah akibat mencerna ikan yang membusuk, dengan gejala yang kadang muncul dalam hitungan menit setelah makan ikan itu. Ikan yang mungkin mengandung scromboid diantaranya Sardin, Ikan Teri Ikan Haring, dan Amberjack. Racun histamine ini akan muncul jika kondisi ikan sudah tidak segar. Pembentukan histamine pada tubuh ikan scombroidae akan meningkat setelah ikan mati dan tidak segera dibekukan atau tidak segera diolah, sehingga dapat menyebabkan keracunan jika dikonsumsi. Konsekuensi yang mungkin terjadi diantaranya keracunan scromboid termasuk perasaan terbakar di sekitar mulut, kulit wajah mengelupas, detak jantung tidak normal. Memasak dan membekukan ikan tidak akan menetralkan racunnya

 

  1. Mikotoksin
    • Pengertian Mikotoksin

Makanan merupakan sumber energi yang dibutuhkan oleh manusia dan hewan untuk melangsungkan kehidupannya. Namun, makanan dapat menjadi sumber penyakit jika tidak memenuhi kriteria sebagai makanan baik, sehat, dan aman. Berbagai kontaminan dapat mencemari bahan pangan dan pakan sehingga tidak layak untuk dikonsumsi.

Kualitas makanan atau bahan makanan di alam ini tidak terlepas dari berbagai pengaruh seperti kondisi lingkungan, yang menjadikan layak atau tidaknya suatu makanan untuk dikonsumsi. Berbagai bahan pencemar dapat terkandung di dalam makanan karena penggunaan bahan baku pangan terkontaminasi, proses pengolahan, dan proses penyimpanan. Di antara kontaminan yang sering ditemukan adalah mikotoksin yang dihasilkan oleh kapang (Maryam,2002).

Mikotoksin merupakan metabolit sekunder yang dihasilkan oleh spesies kapang tertentu selama pertumbuhannya pada bahan pangan maupun pakan (Fox dan Cameron 1989). Mikotoksin mulai dikenal sejak ditemukannya aflatoksin yang menyebabkan Turkey X–disease pada tahun 1960 (Maryam, 2002). Hingga saat ini telah dikenal 300 jenis mikotoksin (Cole dan Cox 1981), lima jenis diantaranya sangat berpotensi menyebabkan penyakit baik pada manusia maupun hewan, yaitu aflatoksin, okratoksin A, zearalenon, trikotesena (deoksinivalenol, toksin T2) dan fumonisin. Menurut Bhat dan Miller (1991) sekitar 25%-50% komoditas pertanian tercemar kelima jenis mikotoksin tersebut. Penyakit yang disebabkan karena adanya pemaparan mikotoksin disebut mikotoksikosis.

 

 

  • Jenis Mikotoksin yang Berpotensi Menimbulkan Permasalahan

6.2.1  Aflatoksin

Aflatoksin berasal dari singkatan Aspergillus flavus toxin. Toksin ini pertama kali diketahui berasal dari kapang Aspergillus flavus yang berhasil diisolasi pada tahun 1960. A. flavus sebagai penghasil utama aflatoksin umumnya hanya memproduksi aflatoksin B1 dan B2 (AFB1 dan AFB2) Sedangkan A. parasiticus memproduksi AFB1, AFB2, AFG1, dan AFG2. A. flavus dan A. parasiticus ini tumbuh pada kisaran suhu yang jauh, yaitu berkisar dari 10-12 0C sampai 42-43 0C dengan suhu optimum 32-33 0C dan pH optimum 6.

Diantara keempat jenis aflatoksin tersebut AFB1 memiliki efek toksik yang paling tinggi. Mikotoksin ini bersifat karsinogenik, hepatatoksik dan mutagenik sehingga menjadi perhatian badan kesehatan dunia (WHO) dan dikategorikan sebagai karsinogenik gol 1A. Selain itu, aflatoksin juga bersifat immunosuppresif yang dapat menurunkan sistem kekebalan tubuh.

Di Indonesia, aflatoksin merupakan mikotoksin yang sering ditemukan pada produk-produk pertanian dan hasil olahan (Muhilal dan Karyadi 1985, Agus et al. 1999). Selain itu, residu aflatoksin dan metabolitnya juga ditemukan pada produk peternak seperti susu (Bahri et al. 1995), telur (Maryam et al. 1994), dan daging ayam (Maryam 1996). Sudjadi et al (1999) melaporkan bahwa 80 diantara 81 orang pasien (66 orang pria dan 15 orang wanita) menderita kanker hati karena mengkonsumsi oncom, tempe, kacang goreng, bumbu kacang, kecap dan ikan asin. AFB1, AFG1, dan AFM1 terdeteksi pada contoh liver dari 58 % pasien tersebut dengan konsentrasi diatas 400 µg/kg.

 

6.2.2 Okratoksin

Okratoksin, terutama Okratoksin A (OA) diketahui sebagai penyebab keracunan ginjal pada manusia maupun hewan, dan juga diduga bersifat karsinogenik. Okratoksin A ini pertama kali diisolasi pada tahun 1965 dari kapang Aspergillus ochraceus. Secara alami A. ochraceus terdapat pada tanaman yang mati atau busuk, juga pada biji-bijian, kacang-kacangan dan buah-buahan. Selain A.ochraceus, OA juga dapat dihasilkan oleh Penicillium viridicatum (Kuiper-Goodman 1996) yang terdapat pada biji-bijian di daerah beriklim sedang (temperate), seperti pada gandum di eropa bagian utara. P. viridicatum tumbuh pada suhu antara 0-31 0C dengan suhu optimal pada 20 0C dan pH optimum 6-7. A.ochraceus tumbuh pada suhu antara 8-37 0C. Saat ini diketahui sedikitnya 3 macam Okratoksin, yaitu Okratoksin A (OA), Okratoksin B (OB), dan Okratoksin C (OC). OA adalah yang paling toksik dan paling banyak ditemukan di alam, terupama pada komoditas kopi selain itu OA juga banyak ditemukan pada berbagai produk ternak seperti daging babi dan daging ayam. Hal ini karena OA bersifat larut dalam lemak sehingga dapat tertimbun di bagian daging yang berlemak. Manusia dapat terekspose OA melalui produk ternak yang dikonsumsi.

 

6.2.3 Zearalenon

Zearalenon adalah toksin estrogenik yang dihasilkan oleh kapang Fusarium graminearum, F. tricinctum, dan F. moniliforme. Kapang ini tumbuh pada suhu optimum 20-25 0C dan kelembaban 40-60 %. Zearalenon pertama kali diisolasi pada tahun 1962. Mikotoksin ini cukup stabil dan tahan terhadap suhu tinggi. Hingga saat ini paling sedikit terdapat 6 macam turunan zearalenon, diantara nya α-zearalenol yang memiliki aktivitas estrogenik 3 kali lipat daripada senyawa induknya. Senyawa turunan lainnya adalah 6,8-dihidroksizearalenon, 8-hidroksi zearalenon, 3-hidroksi zearalenon, 7-dehidro zearalenon, dan 5- formil zearalenon. Komoditas yang banyak tercemar zearalenon adalah jagung, gandum, kacang kedelai, beras dan serelia lainnya.

 

6.2 4 Fumonisin

Fumonisin termasuk kelompok toksin fusarium yang dihasilkan oleh kapang Fusarium spp., terutama F. moniliforme dan F. proliferatum. Mikotoksin ini relatif baru diketahui dan pertama kali diisolasi dari F. moniliforme pada tahun 1988 (Gelderblom, et al. 1988). Selain F. moniliforme dan F. proliferatum, terdapat pula kapang lain yang juga mampu memproduksi fumonisin, yaitu F.nygamai, F. anthophilum, F. diamini dan F. napiforme. F. moniliforme tumbuh pada suhu optimal antara 22,5-27,5℃  dengan suhu maksimum 32-37 ℃. Kapang Fusarium ini tumbuh dan tersebar diberbagai negara didunia, terutama negara beriklim tropis dan sub tropis.

Komoditas pertanian yang sering dicemari kapang ini adalah jagung, gandum, sorgum dan berbagai produk pertanian lainnya. Hingga saat ini telah diketahui 11 jenis senyawa Fumonisin, yaitu Fumonisin B1 (FB1), FB2, FB3 dan FB4, FA1, FA2, FC1, FC2, FP1, FP2 dan FP3. Diantara jenis fumonisin tersebut, FB1 mempunyai toksisitas yang dan dikenal juga dengan nama Makrofusin. FB1 dan FB2 banyak mencemari jagung dalam jumlah cukup besar, dan FB1 juga ditemukan pada beras yang terinfeksi oleh F.proliferatum. Keberadaan kapang penghasil fumonisin dan kontaminasi fumonisin pada komoditi pertanian, terutama jagung di Indonesia telah dilaporkan oleh Miller et al. (1993), Trisiwi (1996), Ali et al. 1998 dan Maryam (2000b). Meskipun kontaminasi fumonisin pada hewan dan manusia belum mendapat perhatian di Indonesia, namun keberadaannya perlu diwaspadai mengingat mikotoksin ini banyak ditemukan bersama-sama dengan aflatoksin sehingga dapat meningkatkan toksisitas kedua mikotoksin tersebut (Maryam, 2000).

6.2.5 Citrinin

Citrinin pertama kali diisolasi dari Penicillium Citrinum oleh Thom pada tahun 1931. Mikotoksin ini ditemukan sebagai kontaminan alami pada jagung, beras, gandum, barley, dan gandum hitam (rye). Citrinin juga diketahui dapat dihasilkan oleh berbagai spesies Monascus dan hal ini menjadi perhatian terutama oleh masyarakat Asia yang menggunakan Monascus sebagai sumber zat pangan tambahan. Monascus banyak dimanfaatkan untuk diekstraksi pigmennya (terutama yang berwarna merah) dan dalam proses pertumbuhannya, pembentukan toksin citrinin oleh Monascus perlu dicegah.

 

6.2.6  Deoksinivalenol

Deoksinivalenol (DON, vomitoksin) adalah mikotoksin jenis trikotesena tipe B yang paling polar dan stabil. Jenis mikotoksin ini diproduksi oleh jamur Fusarium Graminearium (Gibberella zeae) dan Fusarium Culmorum, dimana keduanya merupakan patogen pada tanaman. DON merupakan suatu epoksi-sesquiter-penoid yang mempunyai 1 gugus hidroksil primer dan 2 gugus hidroksil sekunder serta gugus karbonil berkonjugasi yang membedakannya dengan trikotesena tipe lain.

Keberadaan DON kadang-kadang disertai pula oleh mikotoksin lain yang dihasilkan oleh Fusarium seperti zearalenon, nivalenol (dan trikotesena lain) dan juga fumonisin. DON merupakan salah satu penyebab terjadinya mikotoksikosis pada hewan. Merupakan mikotoksin yang stabil secara termal, oleh karena itu sangat sulit untuk menghilangkannya dari komoditi pangan yang rentan terkontaminasi senyawa ini, seperti pada gandum. DON banyak terdapat pada tanaman biji-bijian seperti gandum, barley, oat, gandum hitam, tepung jagung, sorgum, tritikalus dan beras. Pembentukan DON pada tanaman pertanian tergantung pada iklim dan sangat bervariasi antar daerah dengan geografi tertentu.

Konsentrasi DON yang pernah dideteksi pada bahan pangan yaitu pada barley mencapai 0,004 mg/kg -9 mg/kg, 0,003 mg/kg -3,7 mg/kg pada jagung, 0,004 mg/kg – 0,76 mg/kg pada oat, 0,006 mg/kg – 5 mg/kg pada beras, 0,013 mg/kg – 0,240 mg/kg pada gandum hitam, dan 0,001 mg/kg -6 mg/kg pada gandum.  Karena senyawa ini stabil, DON dapat pula ditemukan pada produk sereal seperti sereal untuk sarapan, roti, mi instan, makanan bayi, malt dan bir. Transfer DON dari pakan ternak ke dalam daging dan produk hewan lainnya sangat rendah. Selain itu produk dari hewan ini tidak mempunyai kontribusi yang nyata terhadap manusia.

Toksisitas akut DON diperlihatkan pada babi dengan gejala keracunan seperti muntah-muntah, tidak mau makan, penurunan berat badan dan diare. Intoksikasi akut menyebabkan nekrosis pada beberapa jaringan seperti saluran pencernaan, jaringan limfoid dan sumsum tulang.

Penelusuran subkronik secara oral pada beberapa hewan percobaan seperti babi, mencit dan tikus juga menunjukkan terjadi penurunan asupan makan dan peningkatan berat badan menjadi sangat lambat serta terjadi perubahan pada beberapa parameter darah seperti pada serum immunoglobin.

DON dapat dimetabolisme melalui de-epoksidasi dan glukuronidasi menjadi metabolit yang tidak terlalu toksik serta mempunyai efek terhadap kesehatan setelah diberikan secara tunggal, jangka pendek ataupun jangka panjang. Pada pemberian tunggal, efek toksikologinya mempunyai 2 karakter yaitu menurunkan konsumsi makanan (anoreksia) dan muntah (emesis). Selain itu dapat mengganggu proses pembelahan sel dan merusak saluran pencernaan.

Efek yang paling tampak dalam pemberian DON adalah menurunya pertumbuhan hewan target. Pada dosis yang lebih tinggi akan berefek terhadap, thymus, limpa dan hati. Pada studi selama 2 tahun terhadap mencit, pemberian dengan dosis rendah (0,1 mg/kg BB/hari) menyebabkan menurunnya berat badan. Namun hasil ini secara biologi tidak nyata, karena tidak ada perubahan lain pada dosis ini, maka Observed Effect Level (NOEL)-nya ialah 0,1 mg/kg BB/hari.

DON tidak mutagenik pada bakteri, namun pada studi in vivo dan in vitro ditemukan adanya penyimpangan pada kromosom yang mengindikasikan DON genotoksik. Memiliki sifat teratogenik tetapi tidak diturunkan. Hal ini berdasarkan studi pada mencit yang sedang hamil yang diberi 5 mg/kg BB/hari DON secara gavage selama periode gestasi 8 hari -11 hari. Namun saat diberi dosis 2,5 mg/kg BB/hari hal ini tidak berlaku. Jika DON ditambahkan pada pakan, NOEL untuk toksisitas maternal dan toksisitas feto-nya ialah 0,38 mg/kg BB/hari.  Berdasarkan studi yang pernah dilakukan, DON dapat berefek tidak baik terhadat sistem kekebalan tubuh. DON tidak menyebabkan efek karsinogen, mutagen ataupun teratogen karena bukti ilmiahnya belum pernah ditemukan baik melalui percobaan hewan di laboratorium maupun pada hewan target.

 

 

 

6.2.7 Patulin

Patulin dihasilkan oleh Penicillium, Aspergillus, Byssochlamys, dan spesies yang paling utama dalam memproduksi senyawa ini adalah Penicillium expansum. Toksin ini menyebabkan kontaminasi pada buah, sayuran, sereal, dan terutama adalah apel dan produk-produk olahan apel sehingga untuk diperlukan perlakuan tertentu untuk menyingkirkan patulin dari jaringan-jaringan tumbuhan Contohnya adalah pencucian apel dengan cairan ozon untuk mengontrol pencemaran patulin. Selain itu, fermentasi alkohol dari jus buah diketahui dapat memusnahkan patulin. Merupakan mikotoksin yang dapat mengkontaminasi berbagai jenis buah (apel,anggur, pir), sayuran, jagung kering, sereal dan makanan ternak. Sumber utama patulin yang membahayakan manusia terdapat pada apel dan jus apel, terutama yang dibuat dengan pemerasan secara langsung. Produk lain yang mengandung apel seperti selai, pie juga mengandung patulin dalam konsentrasi rendah. Cider manis juga dapat mengandung patulin jika ke dalamnya ditambahkan jus apel. Patulin yang terdapat pada apel busuk yang terkontaminasi oleh jamur dan juga pada cider apel manis yang diperjualbelikan mencapai 45 mg/liter.

Pada studi akut dan jangka pendeknya, patulin menyebabkan hyperaemia, pendarahan, peradangan dan pembengkakan pada saluran pencernaan. Berdasarkan studi toksisitas yang telah dilakukan selama 13 minggu pada tikus yaitu 0,8 mg/kg BB/hari, menyebabkan melemahnya fungsi ginjal. Selain itu juga menyebabkan hyperaemia di duodenum pada kelompok tikus yang diberi dosis menengah dan tinggi. Dua studi toksisitas reproduktif pada tikus dan studi teratogenitas pada mencit dan tikus sudah dilakukan. Hasilnya tidak ada efek reproduktif ataupun teratogenik yang terjadi pada mencit ataupun tikus pada dosis sampai 1,5 mg/kg BB/hari. Namun peningkatan frekuensi resorpsi fetal dan toksisitas maternal ditemukan pada perlakuan dosis tinggi yang mengindikasikan patulin toksik pada embrio.

Pada tikus, dosis patulin yang diberikan pada umumnya akan hilang setelah 48 jam pada feses maupun urin; dan kurang dari 2 % akan terekspirasi sebagai CO2; sekitar 2 % dari dosis yang diberikan itu akan tetap ada setelah 7 hari, dan biasanya terdapat dalam eritrosit.

Kera ekor babi (Macaca nemestrina) dapat mentoleransi konsumsi patulin sampai  0,5 mg/kg BB/hari selama 4 minggu tanpa efek yag merugikan.  Eksperimen in vitro dan in vivo mengindikasikan bahwa patulin mempunyai sifat imunosupresan. Namun dosis yang menyebabkan efek ini, lebih tinggi daripada NOEL dalam studi toksisitas jangka pendek dan studi gabungan antara toksistas reproduktif-toksisitas jangka panjang-studi karsinogenitas.

Meskipun terdapat data mengenai genotoksisitas, sebagian besar pengujian menggunakan sel mamalia memberikan hasil positif sedangkan pengujian dengan bakteri memberikan hasilnegatif. Beberapa studi mengindikasikan bahwa patulin mengganggu sintesis DNA. Efek genotoksisitas berkaitan dengan kemampuan dan afinitas patulin yang kuat dengan kelompok sulfidril dan akibatnya enzim yang terlibat dalam replikasi DNA terhambat aktivitasnya. Dengan kata lain, dari data yang ada patulin merupakan senyawa genotoksik. Toksisitas patulin yang terbentuk dengan sistein lebih rendah daripada senyawa yang tidak dimodifikasi dalam hal toksisitas akut, teratogenitas dan mutagenitas.

Patulin yang diinjeksi dalam dosis tinggi selama lebih dari 2 bulan berefek karsinogen,ditandai terbentuknya sarkoma pada lokasi injeksi. Pada studi jangka panjang dengan dosis rendah, efek karsinogen ini tidak terjadi. Patulin juga bersifat immunotoksik dan neurotoksik. IARC (1986) menyimpulkan tidak ada evaluasi yang dibuat mengenai karsinogenitas patulin pada manusia dan tidak ada hasil percobaan terhadap hewan yang mendukung. Berdasarkan studi jangka panjang mengenai karsinogenitas pada tikus dan mencit, JECFA menetapkan PTWI sebesar 7 µg/kg BB.

Pada studi gabungan tentang toksisitas reproduktif, toksisitas jangka panjang/karsinogenitas pada tikus, dosis patulin sebanyak 0,1 mg/kg BB/hari tidak memberikan efek terhadap penurunan berat badan pada tikus jantan. Namun patulin yang diberikan 3 kali seminggu selama 24 bulan mempunyai NOEL 43 µg/kg BB/hari.

Berdasarkan studi-studi yang pernah dilakukan, patulin akan memberikan hasil sensitif jika diberikan sebanyak 3 kali per minggu; dan ini menghasilkan PTWI yang berubah menjadi PMTDI; hal ini disebabkan karena patulin tidak terakumulasi dalam tubuh. Berdasarkan pada nilai NOEL 43 µg/kg BB/hari dan nilai       safety factor 100, nilai PMTDI yang didapat ialah 0,4 µg/kg BB.

Patulin dapat menyebabkan            hyperaemia, pendarahan, peradangan dan pembengkakan pada saluran pencernaan; selain itu juga karena afinitasnya yang kuat dengan kelompok sulfidril; patulin dapat menghambat enzim yang terlibat dalam replikasi DNA sehingga proses sintesis DNA terganggu. Patulin dalam dosis tinggi berefek karsinogen. Patulin juga bersifat immunotoksik dan neurotoksik.

 

  • Pencegahan dan Penanganan Mikotoksin

Kontrol terhadap mikotoksin sangat penting dilakukan terutama bagi produsen peternakan dan pabrik pakan. Kontrol terhadap timbulnya jamur dapat dilakukan dengan menjaga kadar air di dalam pakan rendah, menjaga pakan selalu segar serta menjaga peralatan agar tetap bersih. Biji-bijian yang telah dikeringkan harus disimpan di tempat yang kering dimana kadar airnya kurang dari 14 % untuk mencegah tumbuhnya jamur. Aliran udara atau venttilasi yang baik pada tempat penyimpanan pakan (biji-bijian) Penting untuk mengurangi kadar air dan menjaga agar bahan pakan tetap kering.

 

6.3.1 Kontrol Kadar Air

Kandungan air dalam pangan menjadi salah satu faktor utama akan berkembangnya jamur. Air yang terkandung didalam pangan didapat dari 3 sumber yaitu :

  1. Kandungan pangannya.
  2. Proses pangan di pabrik
  3. Tempat dimana pangan disimpan

Untuk mengendalikan kandungan kadar air maka ketiga faktor tersebut diatas harus diperhatikan. Jagung dan jenis biji-bijian lain merupakan bahan pangan yang tinggi kadar air dan sumber timbulnya jamur dalam pangan.Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah kontrol kadar air agar kadar airnya selalu rendah. Semua pakan mengandung kadar air tertentu , maka kadar air tersebut harus dimonitor dan dikontrol.Umumnya pada biji-bijian jarang timbul jamur, namun jika kondisinya memungkinkan maka jamur juga bisa tumbuh Biji-bijian yang ditumpuk maksimal kadar airnya adalah 15 %. Biji-bijian dengan kadar air yag tinggi memungkinkan tumbuhnya jamur akan tingi pula. Banyaknya jamur yang tumbuh pada biji-bijian yang pecah lima kali lebih banyak dibandingkan pada biji-bijian yang masih utuh.Proses penggilingan bahan pakan digunakan mesin penggiling untuk membantu pencampuran. Proses penggilingan menjadi pecahan ini menimbulkan panas.Jika tidak dikontrol, maka temperatur akan meningkat lebih dari 10 of sehingga akan timbul titik-titik air. Titik-titik air ini menunjang tumbuhnya jamur. Hal ini juga dapat terjadi terutama jika udara dingin. Sehingga perbedaan suhu ini menyebabkan air akan berkondensasi di bagian dinding tempat peggilingan. Disarankan sintem penggilingan (hummer milk) disertai dengan menggunakan sirkulasi udara /ventilasi yang dapat menurunkan / mengurangi panas pada produk pakan dan mengurangi timbulnya titik-titik air.

Proses pelleting pakan menggunakan uap air dengan penambahan panas dan penambahan air 3-5% dengan tekanan tertentu. Kemudian pellet tersebut didinginkan untuk menghilangkan panas dan mengurangi kandungan air. Jika proses pelleting dilakukan dengan tepat, maka kelebihan air dapat dikurangi. Namun jika kelebihan air ini tidak dapat dikurangi maka saat pendinginan pellet, dapat menumbuhkan jamur.Saat pendinginan pada proses pelleting,pellet yang masih panas yang keudian ditempatkan pada tempat yag dingin akan menyebabkan kondensasi pada bagian dinding. Hal ini perlu diperhatikan dengan baik, karena jika proses pelleting lambat, maka resiko timbulnya jamur juga akan tinggi.

 

 

 

6.3.2 Kontrol Kondisi Lingkungan Tempat Menyimpan Pakan

Untuk mengontrol pertumbuhan jamur, sumber timbulnya air dari tempat penampungan pakan dan peralatan penyimpanan perlu dihindari. Sumber air ini dapat timbul karena kebocoran tempat penyimpanan, bagian atap gudang atau atap tempat pengilingan. Timbulnya air pada pakan seringkali dilewatkan. Pada sistem perkandangan close house banyak dilakukan dengan memberikan rasa dingin yang menyebabkan kondisi lingkungan lebih lembab. Kelembaban pada sistem perkandangan ini harus dikontrol dengan sistem ventilasi yang cukup.

 

6.3.3. Kontrol Agar pakan Tetap Segar

Sebaiknya pakan yang diberikan ke ternak masih dalam keadaan segar. Pakan seharusnya dikonsumsi habis maksimal dalam waktu 10 hari setelah pengiriman. Hal yang perlu dilakukan adalah mengatur sistem pengiriman pakan untuk memastikan bahwa pakan tersebut harus habis. Selain itu pemberian pakan sebaiknya diberikan secara bertahap. Ternak umumnya akan memakan pakan yang ada dibagian atas sedangkan pakan yang ada dibagian bawah telewatkan sehingga kemungkinan jamur bisa tumbuh. Untuk mencegah masalah ini, seharusnya pakan ditempat pakan dihabiskan sebelum datang pakan yang baru.Prinsip pengeluaran dari gudang juga sama yang biasa disebut dengan “all in all aut”

 

6.3.4  Kebersihan Peralatan

Saat pakan dikirim ke farm, dimungkinkan terjadi kontak dengan pakan yang lama yang masih tertinggal pada saat penyimpanan pakan atau pengiriman pakan.pakan lama tersebut seringkali terdapat jamurnya dan jika kontak dengan pakan baru maka kesempatan jamur untuk tumbuh dan membentuk mikotoksin akan meningkat. Untuk mencegahnya, sisa pakan lama sebaiknya dibersihkan dahulu dari peralatan tersebut.

 

6.3.5 Penggunaan Bahan Penghambat Tumbuhnya jamur (Mold inhibitor)

Penggunaan bahan kimia penghambat tumbuhnya jamur merupakan salah satu cara yang baik digunakan dalam industri pakan. Tipe mold inhibitor utama antara lain adalah :

  1. Asam organik atau kombinasi beberapa asam-asam organik (Propionat, sorbat, benzoat, dan asam asetat)
  2. Garam dari asam organik (contohnya : kalsium Propionat dan potasium sorbat)
  3. Tembaga sulfat . Bahan-bahan kimia ini baik bentuk padat ataupun cair cara kerjanya sama dan menyebar rata keseluruh paka. Umumnya bentuk asam lebih efektif dibanding bentuk yang lainnya.

Banyak faktor yang mempengaruhi keefektifan dari jamur, Mold inhibitor (penghambat jamur) efektif jika inhibitor ini didistribusikan secara merata keseluruh bagian pakan, yang berarti keseluruhan permukaan partikel pakan berkontak langsung dengan inhibitor ini seharusnya juga menembus partikel pakan sehingga bagaian dalam jamur dapat dihambat.ukuran partikel dari mold nhibitor ini seharusnya lebih kecil dari partikel pakan.

 

 

 


 

  • PENUTUP

 

  1. Kesimpulan
    • Racun Alami adalah zat atau senyawa yang secara alami terdapat pada tumbuhan, daging, telur dan ikan yang sebenarnya merupakan salah satu mekanisme untuk melawan serangan jamur, serangga serta predator
    • Mikotoksin merupakan metabolit sekunder yang dihasilkan oleh spesies kapang tertentu selama pertumbuhannya pada bahan pangan maupun pakan

 

  1. Saran

Perlunya pengetahun tentang toksikan alami oleh konsumen supaya dapat terhindar dari bahaya mengkonsumsi makanan yang mengandung toksik alami.

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Ali, N., Sardjono,  A. Yamashita, and T. Yoshizawa. 1998.  Natural occurrence of aflatoxins and fusarium mycotoxins (fumonisins, deoxinivalenol, nivalenol, and zearalenon) in corn from Indonesia.  Jakarta: Food Add Contaminant. 15: 377-384.

Anonim. 2009. Batas Maksimum Kandungan Mikotoksik Pada Pangan. SNI. Jakarta

Anonim. 2009. Batas Maksimum Kandungan Mikotoksik Pada Pangan. Jakarta: SNI.

Arisman. 2004. Gizi dalam daur Kehidupan. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta

Ariana, Yana. 2013. Dampak Mikotoksin terhadap kesehatan dan produktivitas hewan serta solusi penanggulangannya. Jakarta:  novindo.

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).  2008.  Informatorium  Obat  Nasional  Indonesia,  Badan  Pengawas  Obat  dan Makanan Republik Indonesia. Jakarta.

Badan POM.2008. Kontaminasi Mikotoksin Dalam Pangan dan Dampaknya Terhadap Kesehatan. Jakarta: Media Indonesia.

Bahri, S., Ohim, Maryam, R. 1995. Residu aflatoksin M1 pada susu sapi dan hubungannya dengan keberadaan afaltoksin M1 pada pakan sapi. Bogor: Kumpulan Makalah Lengkap Kongres Nasional Perhimpunan Mikologi Kedokteran Manusia dan Hewan Indonesia I dan Temu Ilmiah. 21-24 Juli 1994. Hal: 269-275

Candra,  B.  2008.  Metodologi  Penelitian  Kesehatan. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Maryam, Romsyah. 2000. Fumonisin: Kelompok mikotoksin Fusarium yang perlu diwaspadai. Jurnal Mikologi Kedokteran Indonesia 1(1): 51-57

Maryam, Romsyah. 2000. Kontaminasi pada bahan pakan dan pakan ayam di Jawa Barat. Bogor : Presentasi poster pada Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner.

Maryam, Romsyah.  2006. Pengendalian Terpadu Kontaminasi  Mikotoksin. Balai  Pertanian  veteriner. 16:1

Maryam, Romsyah. 1996. Residu Aflatoksin dan Metabolitnya dalam daging dan Hati Ayam. Bogor : Prosiding Temu Ilmiah Nasional Bidang Veteriner, 236-339.

Maryam, R. 2000. Fumonisin: Kelompok mikotoksin fusarium yang perlu diwaspadai. Jurnal Mikologi Kedokteran Indonesia (Indonesian Journal of Medical Mycology),  1(1): 51-57.

Pilliang, W.G. 1995. Nutrisi Vitamin Volume II. Penerbit IPB. Bogor.

Sediaoetama, D.A. 2004. Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi jilid 2 Dian Rakyat. Jakarta.

Winarno, F.G.1995.Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pusaka Utama. Jakarta.

 

Agustyar

Mahasiswa perikanan UGM 2014

Leave a Reply

Your email address will not be published.