EKOSISTEM DANAU
Akhmad Awaludin Agustiar
14/369621/PN/13935
Teknologi Hasil Perikanan
Intisari
Danau merupakan salah satu jenis dari ekosistem lakustrin yang dikelilingi oleh daratan dan memiliki berbagai jenis bentuk. Terbentuknya danau disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya ativitas tektonik , vulkanik, glasier, tepi pantai, proses pelarutan batu kapur, kegiatan angin, kegiatan sungai, atau akibat kejatuhan meteor. Tujuan dari praktikum ekosistem danau yaitu mempelajari karakteristik ekosistem lentik (perairan menggenang) dan faktor-faktor pembatasnya, mempelajari cara-cara pengambilan data tolokukur (parameter) fisik, kimia, dan biologik suatu perairan lentik, mempelajari korelasi antara beberapa tolokukur lingkungan dengan populasi biota (plankton dan bentos) serta mempelajari kualitas perairan lentik berdasarkan atas indeks diversitas biota perairan. Praktikum ekosistem danau golongan A4 ini dilaksanakan pada hari Kamis, 19 Maret 2015 pukul 14.00 WIB sampai selesai di danau Tambak Boyo Yogyakarta. Pada praktikum ini dilakukan beberapa pengambilan data tolokukur (parameter) yang meliputi parameter fisik, kima dan biologik. Dalam praktikum ini, lokasi pengamatan dibagi menjadi empat stasiun yang mencakup bagian masuknya air, bagian tengah serta bagian keluarnya air. Berdasarkan hasil pengamatan dari semua stasiun, didapatkan bahwa klasifikasi kualitas perairan dengan acuan indeks diversitas Shannon-Wiener , stasiun terbaik dengan kualitas perairan paling baik adalah stasiun 2 dengan indeks diversitas 3,49.
Kata Kunci : danau Tambak Boyo, densitas, diversitas, ekosistem lentik, kerjenihan
PENDAHULUAN
Danau merupakan habitat lentik yang dicirikan dengan arus yang sangat lambat atau tidak ada arus sama sekali. Arus air danau dapat bergerak ke berbagai arah (Effendi, 2003). Didalam danau terdapat kesatuan proses yang saling terkait dan mempengaruhi anter semua komponen, baik komponen biotik maupun abiotik yang sangat berpengaruh terhadap keseimbangan ekosistem (Sastrawijaya, 2000).
Ekosistem danau terdiri dari 3 wilayah horizontal, yaitu litoral, limnetik, dan profundal. Wilayah litoral adalah wilayah tepi danau dan kolam. Organisme litoral antara lain teratai, hydrilla, hydra, capung, katak, burung dan tikus. Vegetasi (tumbuhan) pada wilayah litoral didominasi oleh tumbuhan yang mengapung dan tenggelam. Wilayah limnetik adalah wilayah perairan terbuka yang masih dapat ditembus cahaya matahari. Pada wilayah ini, banyak mengandung fitoplankton dan zooplankton. Karena banyak mengandung plankton, pada wilayah limnetik dan litoral terdapat banyak ikan. Di bagian bawah wilayah limnetik terdapat wilayah profundal, yaitu daerah yang dalam dengan berbagai jenis dekomposer pada bagian dasarnya (Aryulina, 2004).
Danau dapat diklasifikasikan berdasarkan produktivitas primernya. Produktivitas atau kesuburan danau tergantung dari nutrisi yang diterimanya dari perairan regional. Danau dibagi atas oligotrofik dan eutrofik. Danau oligotrofik biasanya dalam dengan hipolimnion > epilimnion dan produktivitas primernya rendah. Tanaman di daerah litoral jarang dan kepadatan plankton rendah walaupun jumlah jenisnya mungkin tinggi. Danau eutrofik lebih dangkal dan produktivitas primernya lebih tinggi, vegetasi litoral lebih lebat dan populasi plankton rapat (Odum, 1993).
Tujuan dari praktikum ekosistem danau yaitu mempelajari karakteristik ekosistem lentik (perairan menggenang) dan faktor-faktor pembatasnya, mempelajari cara-cara pengambilan data tolokukur (parameter) fisik, kimia, dan biologik suatu perairan lentik, mempelajari korelasi antara beberapa tolokukur lingkungan dengan populasi biota (plankton dan bentos) serta mempelajari kualitas perairan lentik berdasarkan atas indeks diversitas biota perairan.
METODELOGI
Praktikum ekosistem danau ini dilaksanakan di danau Tambak Boyo pada hari Kamis tanggal 19 Maret 2015 pukul 14.00 WIB hingga selesai. Alat yang digunakan dalam praktikum ini antaralain timbangan analitik, water sampler, meteran, cakram secchi (secchi disk), termometer, botol oksigen, ember plastik, erlenmeyer, gelas ukur, pipet tetes, jaring plankton, kertas label, dan pensil.
Bahan yang digunakan antaralain kertas pH atau pH meter, kerta saring (milipore) dengan diameter pori 0,45µm , larutan MnSO4, larutan reagen oksigen, larutan H2SO4 pekat, larutan 1/80 N Na2S2O3, larutan 1/44 N NaOH, larutan H2SO4, larutan 1/50 N H2SO4, larutan indikator Phenolphphtalein (PP), larutan indikator amilum, larutan indikator methyl orange (MO), larutan 4N H2SO4, larutan 0,1 N Kalium permanganate, larutan 0,1 N Ammonium oksalat, dan larutan 4% formalin.
Metode yang digunakan dalam pengamatan ini yaitu dengan cara pengamatan secara langsung untuk kemudian dilakukan pengambilan data berdasarkan parameter fisik, kimia, dan biologi pada setiap stasiun. Stasiun pengamatan dibagi menjadi empat yang mencangkup bagian masuknya air, bagian tengah serta bagian keluarnya air.
Parameter fisik yang digunakan meliputi suhu air, suhu udara, kejerihan, TSS, dan warna air. Pada pengukuran kejernihan air, digunakan alat yang disebut secchi disk dan pada pengukuran kandungan padatan tersuspensi total (TSS) dengan metode gravimetri. Perhitungan TSS dilakukan dengan rumus TSS = 1000/Y x (B – A), dimana Y menunjukan air sampel yang digunakan, A menunjukan berat kertas saring sebelum digunakan dan B menunjukan berat kertas saring setelah digunakan.
Parameter kimia meliputi kadar DO, kandungan CO2, alkalinitas, pH, BO BOD0 dan BOD5. Kadar DO dihitung dengan menggunakan rumus DO = 1000/50 x Y x 0,1 mg/l, dimana Y menunjukan banyaknya larutan 1/80 N Na2S2O3 yang digunakan untuk titrasi. Pada pengukuran CO2 , digunakan rumus CO2 = 1000/50 x C x 1 mg/l, dimana C menunjukan banyaknya larutan 1/44 N NaOH yang disunakan titrasi. Kemudian alkalinitas dihitung dengan rumus Alkalinitas total = X + Y (mg/L) , dimana X adalah kandungan CO3– dan Y adalah kandungan dari HCO3–. Kandungan BO diukur menggunakan rumus BO = 1000/50 x [{(10 + a) x f} – 10] x 0,3163 mg/l. a menunjukan volume titran dan f menunjukan faktor koreksi kalium permanganate. Pengukuran BOD0 dan BOD5 adalah sebagai berikut : Kandungan BOD = 1000/volume sampel x (B – A) x 0,1 mg/l. A menunjukan hasil analisis BOD0 dan B menunjukan hasil analisis BOD5.
Untuk parameter biologi yaitu menghitung densitas dan indeks diversitas plankton. Densitas plankton ini diketahui dengan mengamati air sampel yang telah diambil menggunakan mikrosokop cahaya. Densitas plankton dinyatakan dalam satuan individu per volume air. Sedangkan indeks diversitas plankton dihitung menggunakan rumus Shannon-wiener.
Dimana H menunjukan indeks diversitas, ni menunjukan cacah individu suatu genus dan N menunjukan cacah individu seluruh genera.
HASIL DAN PEMBAHASAN
TABEL PENGAMATAN EKOSISTEM DANAU | |||||
Parameter / Stasiun | Stasiun 1 | Stasiun 2 | Stasiun3 | Stasiun 4 | |
Suhu Udara (°C) | 27,5 | 32 | 30,5 | 31,5 | |
Suhu Air (°C) | 30,5 | 30 | 30,5 | 28 | |
Kecerahan (m) | 0,45 | 0,805 | 0,6025 | 0,7935 | |
TSS (ppm) | 6,4 | 16,8 | 17,8 | 19,8 | |
DO (ppm) | 10,6 | 5,2 | 12,12 | 9,06 | |
CO₂ Bebas (ppm) | 0 | 15,2 | 0 | 0 | |
Alkalinitas (ppm) | 127 | 154 | 89 | 87 | |
pH | 7,6 | 7,2 | 7,7 | 7,3 | |
Bahan Organik (ppm) | 15,5 | 17,08 | 12,97 | 10,75 | |
BOD (ppm) | 3,82 | 2,2 | 5,83 | 1,11 | |
Diversitas Plankton | 2,22 | 3,49 | 3,05 | 2,98 | |
Densitas Plankton (ind/l) | 2108,43 | 2510,04 | 2058,23 | 4367,47 |
Pengamatan ekosistem danau dilakukan di danau Tambak Boyo yang terletak di Condongcatur Yogyakarta. Pengamatan pada stasiun satu yang berlokasi pada pintu masuk air memiliki vegetasi yang rimbun disekitar danau. Di stasiun satu banyak ditemukan sampah plastik seperti botol-botol bekas. Warna air danau Tambak Boyo stasiun satu hijau dan kejernihannya termasuk buruk jika dibandingkan dengan stasiun-stasiun lain. Pada saat dilakukannya pengamatan, cuaca saat itu cerah. Aktivitas atau kegiatan disekitar danau diantaranya banyak orang yang memancing dan disekitar danau terdapat warung.
Pada parameter fisik yaitu suhu udara, stasiun satu memiliki suhu udara paling rendah, yaitu 27,5 °C . stasiun 2 memiliki suhu 32 °C, stasiun 3 memiliki suhu 30,5°C dan stasiun 4 memiliki suhu 31,5°C. Hal yang menyebabkan stasiun 1 memiliki suhu udara paling rendah yaitu karena pada stasiun 1, terdapat vegetasi yang rimbun, dibandingkan dengan stasiun 2 , 3 dan 4 yang jauh dari vegetasi.
Pada pengamatan suhu air, stasiun 1 dan 3 memiliki suhu air paling tinggi yaitu 30,5°C dibandingkan dengan stasiun 2 sebesar 30°C dan stasiun 4 sebesar 28°C. Hal yang menyebabkan tingginya suhu air pada stasiun 1 dan 3 yaitu akibat terkena sinar matahari yang terik pada saat itu, sementara stasiun 4 suhu airnya paling rendah karena merupakan daerah keluarnya air sehingga alirannya deras dan menyebabkan suhunya rendah.
Pada parameter fisik selanjutnya yaitu kecerahan, stasiun 2 adalah yang paling baik dengan kecerahan sampai kedalaman 0,805 m , dibandingkan dengan stasiun 4 sebesar 0,7935 m , stasiun 3 sebesar 0,6025 dan yang paling buruk adalah stasiun satu dengan 0,45 m. Hal yang menyebabkan stasiun satu memiliki kecerahan paling buruk adalah karena pada stasiun 1 terdapat banyak sampah plastik yang turut mencemari perairan danau. Dibandingkan dengan stasiun lain, stasiun 1 lah yang terlihat banyak sampah karena merupakan pintu masuknya air dari berbagai macam sungai yang membawa sampah-sampah tersebut.
Pada pengukuran TSS atau padatan tersuspensi total, stasiun 4 memiliki nilai yang paling besar yaitu 19,8 ppm dibandingkan dengan stasiun 3 sebesar 17,8 ppm, stasiun 2 dengan 16,8 ppm dan yang paling rendah yaitu stasiun 1 dengan 6,4 ppm. Dengan demikian pada stasiun 4 bahan organik sulit untuk diproduksi karena tingginya TSS. Hal ini karena Zat padat tersuspensi merupakan tempat berlangsungnya reaksi-reaksi kimia yang heterogen, dan berfungsi sebagai bahan pembentuk endapan yang paling awal dan dapat menghalangi kemampuan produksi zat organik di suatu perairan (Tarigan , 2003)
Kemudian pada parameter Kimia , Pengamatan DO atau kandungan oksigen terlarut menunjukan bahwa stasiun 3 memiliki DO yang paling tinggi dengan 12,12 ppm , diikuti oleh stasiun 1 sebesar 10,6 ppm, stasiun 4 dengan 9,06 ppm dan yang paling sedikit yaitu stasiun 2 dengan 5,2 ppm. Pada pengukuran kandungan CO2 bebas , didapatkan hasil pada stasiun 1 , 3 dan 4 sebesar 0 ppm sementara pada stasiun 2 yaitu 15,2 ppm. Hal tersebut dikarenakan pada stasiun 1 , 3 dan 4 terdapat banyak fitoplankton yang menggunakan CO2 untuk respirasi , sementara pada stasiun 2 fitoplankton sedikit sehingga CO2 tidak habis digunakan untuk fotosintesis.
Pengamatan selanjutnya yaitu alkalinitas, dapat kita lihat bahwa alkalinitas paling tinggi yaitu pada stasiun 2 dengan 154 ppm, dilanjutkan dengan staasiun 1 sebesar 127 ppm , stasiun 3 dengan 89 ppm dan stasiun 4 sebesar 87 ppm. Pada pengamatan pH, stasiun dengan pH tertinggi yaitu stasiun 3 sebesar 7,7 , diikuti stasiun 1 dengan 7,6 kemudian stasiun 4 dengan 7,3 dan terakhir stasiun 2 dengan 7,2.
Dari pengamatan BOD , didapat hasil antara lain pada stasiun 1 sebesar 3,82 ppm, stasiun 2 sebesar 2,2 ppm, stasiun 3 sebesar 5,83 dan stasiun 4 sebesar 1,11 ppm. Jadi BOD paling tinggi adalah pada stasiun 3 dan paling rendah ada pada stasiun 4. Perairan dengan nilai BOD tinggi mengindikasikan bahwa air tersebut tercemar oleh bahan organic (Lee , 1978).
Pada parameter biologi, stasiun dengan bahan organik terbesar yaitu stasiun 2 sebesar 17,08 ppm , kemudian stasiun 1 dengan 15,5 ppm, stasiun 3 dengan 12,97 ppm dan stasiun 4 dengan 10,75 ppm. Pada pengamatan diversitas plankton, didapatkan hasil antaralain stasiun 1 sebesar 2,22 , stasiun 2 sebesar 3,49 , stasiun 3 sebesar 3,05 dan stasiun 4 sebesar 2,98.
Hubungan Suhu , Kandungan Oksigen Terlarut (DO) dan Kadar CO2 Bebas
Berdasarkan grafik diatas, dapat kita lihat bahwa hubungan antara DO dan CO2 Adalah berbanding terbalik. Kandungan DO dalam suatu perairan akan berbanding terbalik dengan CO2, karena CO2 merupakan hasil respirasi dari organism akuatik, dan yang dibutuhkan fitoplankton untuk membuat makanannya (Wardoyo, 1979). Kadar oksigen terlarut minimum yang dibutuhkan untuk mendukung kehidupan organisme akuatik secara normal adalah 2 ppm dengan catatan di dalam perairan tidak terdapat persenyewaan beracun. (Lisanti, 2000). Kadar oksigen yang terlarut di perairan alami bervariasi, tergantung pada suhu, salinitas, turbulensi air, dan tekanan atmosfer. Semakin besar suhu dan ketinggian serta semakin kecil tekanan atmosfer, kadar oksigen terlarut semakin kecil (Effendi, 2003).
Suhu merupakan faktor pembatas terhadap pertumbuhan dan penyebaran suatu spesies, karena suhu mempengaruhi metabolisme dalam tubuh spesies tersebut. Suhu optimum untuk pertumbuhan organisme berkisar antara 26oC-27oC (Fitri, 2006). Suhu yang rendah menyebabkan reaksi kimia menurun dan proses metabolisme menjadi turun sehingga jumlah konsumsi oksigen juga ikut menurun. Temperatur air di suatu ekosistem danau di pengaruhi terutama oleh intensitas cahaya matahari tahunan, letak geografis serta ketinggian danau diatas permukaan laut. Berdasarkan grafik diatas , perbandingan antara grafik suhu air, kandungan DO dan CO2 sudah tepat dimana ketika Suhu rendah, DO juga rendah dan CO2 otomatis meningkat. Sedangakan pada suhu udara seharusnya memiliki grafik seperti halnya suhu air, DO dan CO2 namun pada kenyataannya sangat berbeda, hal ini dapat disebabkan oleh praktikan yang salah ketika mengukur suhu udara, misalnya cara memegang termometer yang membuat hasil terpengaruh karena terkena suhu tangannya.
Hubungan CO2 , Alkalinitas dan pH
Berdasarkan grafik diatas, pH rata-rata semua stasiun masuk dalam kategori netral yaitu berkisar antara 7,2 hingga 7,7. Dalam hal ini semua stasiun masih dapat berlangsung kehidupan biota air karena pH air yang memenuhi syarat untuk kehidupan organisme berkisar antara 6,5-8. Perubahan pH badan air sangat menganggu kehidupan tumbuhan, hewan dan organisme pengurai yang hidup di dalam badan air tersebut (Moersidik, 1998). Secara umum pada saat kandungan CO2 bebas tinggi, alkalinitas akan rendah . Kemudian hubungan antara CO2 dengan suhu adalah berbanding terbalik karena ketika CO2 bebas dilepaskan dan bereaksi dengan air membentuk asam karbonat (yang kemudian direduksi menjadi bikarbonat dan karbonat), membuat pH menjadi lebih rendah (Mulyanto, 2011) . Kemudian hubungan antara alkalinitas dengan pH adalah berbanding lurus dimana jika alkalinitas tinggi, pH juga akan tinggi. Alkalinitas berfungsi sebagai buffer agar disuatu perrairan tidak terlalu asam atau tidak terlalu basa, semakin tinggi alkalinitas maka kemampuan air untuk menyangga lebih tinggi sehingga fluktuasi pH perairan semakin rendah. (Yulfiperius, 2004).Hasil pengamatan diatas sudah sesuai dengan teori , hanya saja pada stasiun 2 alkalinitasnya kurang tepat, seharusnya turun. Hal ini bisa disebabkan karena kekurang telitian praktikan saat titrasi sehingga volume titrasi yang habis tidak benar-benar tepat.
Hubungan bahan organik (BO), DO dan BOD
Hubungan antara BOD dengan BO yaitu berbanding lurus dimana jika BOD tinggi, maka BO juga akan tinggi. Tingginya nilai BO digunakan sebagai dekomposisi sehingga kadar BOD juga menjadi naik. Sementara hubungan antara BOD dengan DO adalah berbanding terbalik. BOD (Biochemichal Oxygen Demand) merupakan kebutuhan oksigen organisme sedangkan DO (Dissolved Oxigen) adalah kandungan oksigen terlarut dalam perairan. Secara logika jika kebutuhan oksigen (BOD) meningkat, maka kandungan oksigen (DO) dalam sebuah perairan akan semakin menurun. Kandungan bahan organik (BO) suatu perairan sangat berpengaruh terhadap DO. Jika pada suatu perairan rerdapat bahan organik sangat melimpah, maka cahaya matahari sulit masuk ke perairan sehingga proses fotosintesis akan terganggu dan akan mengakibatkan rendahnya kandungan oksigen (DO) suatu perairan akan menurun. Berdasarkan grafik diatas, ada beberapa kekurang tepatan jika dibandingkan dengan hubungan ketika parameter (BOD, BO dan DO). BOD yang seharusnya berbanding terbalik dengan DO justru berbanding lurus , begitupula dengan kandungan BO. Hal ini juga bisa disebabkan oleh faktor teknis seperti dalam titrasi dimana volume titrasi satu tetes sangat mempengaruhi hasil dan kekurang telitian pada saat titrasi bisa menjadi penyebabnya.
Hubungan antara TSS, kecerahan, DO, dan densitas plankton
Semakin tinggi TSS, maka densitas akan semakin tinggi sedangkan kecerahan dan DO akan semakin rendah. Hubungan antara densitas plankton dengan kandungan padatan tersuspensi terlarut total (TSS) menunjukkan hasil yang berbanding lurus, yaitu apabila densitas planktonya tinggi, TSS nya juga ikiut tinggi. TSS sangat mempengaruhi kecerahan karena padatan tersuspensi (TSS) akan mengurangi penetrasi cahaya ke dalam air, sehingga mempengaruhi regenerasi oksigen secara fotosisntesis dan kekeruhan air juga semakin meningkat. Kekeruhan perairan umumnya disebabkan oleh adanya partikel-partikel suspensi seperti tanah liat, lumpur, bahan-bahan organik terlarut, bakteri, plankton dan organisme lainnya (Mahida, 1993). Hubunggan antara TSS dengan densitas plankton adalah berbanding terbalik dengan kecerahan. Densitas plankton dan TSS yang tinggi menyebabkan kecerahannya rendah, begitu pula sebaliknya. Kecerahan yang rendah berarti kekeruhannya tinggi sehingga cahaya matahari yang akan menjadi sumber energi dalam proses fotosintesis menjadi terhalang. Sehingga proses fotosintesis menjadi terhambat dengan begitu oksigen yang dihasilkan menjadi berkurang. Densitas plankton juga di pengaruhi oleh kandungan DOnya. Hubungan TSS dan DO adalah berbanding terbalik karena zat padat tersuspensi merupakan tempat berlangsungnya reaksi-reaksi kimia yang heterogen, dan berfungsi sebagai bahan pembentuk endapan yang paling awal dan dapat menghalangi kemampuan produksi zat organik di suatu perairan (Tarigan , 2003).
Pada pengamatan diversitas plankton, diversitas merupakan keanekaragaman jenis plankton disuatu tempat dengan ukuran tertentu. Didapatkan hasil antaralain stasiun 1 sebesar 2,22 , stasiun 2 sebesar 3,49 , stasiun 3 sebesar 3,05 dan stasiun 4 sebesar 2,98. Dengan demikian stasiun 2 merupakan stasiun terbaik diantara semua stasiun. Berdasarkan klasifikasi kualitas perairan dengan acuan indeks diversitas Shannon-Wiener , perairan stasiun 1 termasuk perairan dengan kualitas sedang, stasiun 2 perairan sangat baik, stasiun 3 termasuk perairan yang baik dan stasiun 4 termasuk dalam perairan baik. Tabel klasifikasi kualitas perairan berdasarkan indeks diversitas Shannon-Wiener dapat dilihat sebagai berikut :
Tolok ukur | Kualitas perairan | ||||
1 | 2 | 3 | 4 | 5 | |
Sangat buruk | buruk | sedang | baik | Sangat baik | |
Indeks diversitas | ≤0,80 | 0,81-1,60 | 1,61-2,40 | 2,41-3,20 | ≥3,21 |
Kemudian untuk klasifikasi derajat pencemaran berdasarkan indeks diversitas Shannon-Wiener dapat dilihat pada tabel berikut :
Tolok ukur | Derajat Pencemaran | |||
Belum tercemar | Tercemar ringan | Tercemar sedang | Tercemar Berat | |
Indeks diversitas | >2,0 | 1,6-2,0 | 1,0-1,5 | <1,0 |
Dengan mengacu pada tabel tersebut, maka semua stasiun dapat dikatakan belum tercemar karena memiliki indeks diversitas diatas 2,0.
KESIMPULAN
Ekosistem lentik merupakan ekosistem dengan karakteristik perairan yang menggenang serta memiliki faktor pembatas berupa suhu, DO, CO2 bebas, BO, BOD5 pH, alkalinitas, TSS, intensitas cahaya dan kecerahan. Cara pengambilan data tolokukur atau parameter bermacam-macam, diantaranya adalah dengan mengukur secara langsung menggunakan alat, metode Gravimetri, metode Alkalimetri, metode Shannon-Wiener dan metode Winkler. Dari semua parameter yang ada, semuanya memiliki korelasi, diantaranya Korelasi yang segaris lurus adalah antara pH dan alkalinitas serta DO dan diversitas makrobentos, dan berbanding terbalik seperti kandungan DO dan CO2, BO dan DO, suhu dan DO, serta TSS dengan diversitas plankton. Berdasarkan klasifikasi kualitas perairan dengan acuan indeks diversitas Shannon-Wiener , stasiun terbaik dengan kualitas perairan paling baik adalah stasiun 2 dengan indeks diversitas 3,49.
DAFTAR PUSTAKA
Aryulina, Diah et. al. 2004. Biologi. Penerbit Erlangga. Jakarta.
Effendi, H.2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Kanisius.Yogyakarta.
Fitri, Y. 2006. Komposisi Fytoplankton di Batang Agam Kota Payakumbuh. Skripsi Sarjana Pendidikan Biologi PMIPA STKIP PGRI Sumatrea Barat, Padang.
Lee, C.D., dkk. 1978. Bhentich and Fish as Biological Indicator of Water Quality with Reference of Water Pollution in Developing Countries. Bangkok.
Lisanti. 2000. Distribusi Plankton Disungai Jujuhan Desa Batu Kangkung Taman Nasional Kerinci Seblat Kabupaten Sawahlunto Sijunjung Propinsi Sumatera Barat. Skripsi Fakultas Perikanan Universitas Bung Hatta Padang.
Mahida, U.N. 1993. Pencemaran Air dan Pemanfaatan Limbah Industri. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Moersidik, S. dan Hardjojo, 1998. Analisa dan Kualitas Air. Karunika. Jakarta
Mulyanto. 2011. Gas-Gas Terlarut dalam Air Laut. FPIK-UB.Malang.
Odum, E. 1993. Dasar-Dasar Ekologi. UGM Press. Yogyakarta.
Sastrawijaya, A. T. 2000. Pencemaran Lingkungan. Rineka Cipta. Jakarta.
Tarigan, M.S. dan Edward. 2003. Kandungan Total Zat Padat Tersuspensi (Total Suspended Solid) Di Perairan Raha, Sulawesi Tenggara. MAKARA, SAINS, VOL. 7, NO. 3. LIPI.
Wardoyo, S.T.H. 1989. Kiteria Kualitas Air untuk Perairan dan Perikanan. Makalah pada Seminar Pengendalian Pencemaran Air. Dirjen Pengairan Departemen Pekerjaan Umum. Bandung.
Yulfiperiusl, Mozes R. Toelihere, RidwanAffandi, Djadja Subardja Sjafei, 2004. lktiologi Indonesia Volume 4 Nomor I.
Sangat bermanfaat akan saya coba, terimakasih