MAKALAH PENGENDALIAN MUTU HASIL PERIKANAN
“KEAMANAN PANGAN”
Disusun oleh :
- Annisa Ajeng Maharani (13/345952/PN/13135)
- Asykar Adiguna (13/35/PN/135)
- Nadia Aulia (13/353779/PN/13496)
- Fahmi Rizal (13/353/PN/135)
- Zaki Fathoni (13/35/PN/135)
- Akhmad Awaludin Agustiar (14/368621/PN/13935)
JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2015
BAB 1
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Ikan dan produk perikanan merupakan salah satu sumber pangan yang sangat penting bagi masyarakat dunia. Diperkirakan konsumsi ikan secara global di masa yang akan datang akan makin meningkat karena beberapa faktor, di antaranya meningkatnya jumlah penduduk serta pendapatan masyarakat dunia; meningkatnya apresiasi terhadap makanan sehat atau healthy food (di antarannya ditandai dengan rendahnnya kandungan kolesterol dan tingginya asam lemak tak jenuh ganda omega-3 serta komposisi asam amino yang lebih lengkap), sehingga mendorong perubahan pola konsumsi daging dari red meat ke white meat; adanya globalisasi yang menuntut adanya makanan yang bersifat universal semisal ikan. (Tampubolon, 2009). Sebelum ikan menjadi produk makanan yang bersifat universal, maka produk perikanan harus melalui persyaratan jaminan mutu yang ketat yang juga bersifat universal atau berlaku di seluruh dunia.
Sebagai produk pangan, ikan tetap dapat menyebabkan permasalahan kesehatan. Ikan dan produk perikanan dapat terkontaminasi sejak dari proses penangkapan / pembudidayaan sampai dengan sesaat sebelum dimakan. Kemungkinan terjadinya kontaminasi pada ikan dan produk perikanan telah mendorong setiap negara untuk melindungi konsumen dengan mengeluarkan kebijakan berupa peraturan-peraturan dan standar mutu, di mana setiap produk perikanan yang diekspor harus bisa memenuhi persyaratan peraturan-peraturan dan standar mutu di negara tujuan ekspor. Demikian pula sebaliknya, produk perikanan asing yang masuk ke Indonesia harus juga bisa memenuhi peraturan-peraturan dan standar mutu produk di Indonesia.
Hasil perikanan tangkap sebagian besar tetap statis selama dua dekade terakhir, produksi perikanan budidaya telah berkembang pesat dalam periode yang sama. Dari tahun 1970-2008, produksi ikan konsumsi dari budidaya meningkat rata-rata 8,3 persen.
Cina sejauh ini merupakan produsen utama produk perikanan budidaya dunia, pada tahun 2008, produksinya sekitar 33 juta ton produk perikanan budidaya (tidak termasuk tumbuhan). Produksi perikanan budidaya China diperkirakan 10 kali lebih besar dari hasil produksi produsen kedua, India dengan 3,4 juta ton pada tahun 2008.
Beberapa negara anggota APEC lainnya merupakan produsen utama produk perikanan budidaya. Vietnam, Indonesia, Thailand, Chile, Filipina, Jepang, Amerika Serikat, Republik Korea dan Cina Taipei; semua peringkat 15 teratas produsen produk perikanan budidaya dunia.
Isu keamanan pangan terkait dengan produk ini berasal dari beberapa faktor termasuk metode produksi ikan budidaya, mudah terkontaminasi dan dekomposisi, dan penggunaan bahan kimia secara sengaja yang tidak diijnkan.
Permasalahan ini sulit dihitung secara global, meskipun informasi yang cukup dapat diperoleh dari sistem pemantauan, seperti Sistem Peringatan Cepat untuk Pangan dan Pakan Eropa (European Rapid Alert System for Food and Feed – RASFF).
Pada tahun 2009 ikan, krustasea dan moluska menyumbang 22,3% dari 3.204 total notifikasi RASFF. Pada tahun 2008, notifikasi RASFF meningkat 14,8% dari 3.045. Sebagian besar peningkatan 2008-2009 adalah karena lonjakan besar penolakan produk perikanan di pintu akibat penyalahgunaan senyawa antimikroba seperti nitrofurans, kendati masalah tetap ada dengan bahaya keamanan pangan lainnya. Penolakan pada pintu masuk perbatasan (border rejection) dipublikasikan di RASFF. Penyebab utama notifikasi RASFF adalah: Ikan (467 total notifikasi) – mikroorganisme patogen, kontrol yang buruk/tidak memadai, biokontaminan, logam berat, dan parasit. Kekeerangan (54 total notifikasi) – mikroorganisme patogen dan biotoxins. Cephalopoda (39 total notifikasi) – logam berat dan kontrol yang buruk/tidak memadai. Crustacea (177 total notifikasi) – Residu dari obat-obatan (hewan), logam berat, dan bahan tambahan pangan. Analisis tren bahaya dilaporkan RASFF pada tahun 2009 dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya menunjukkan: Masalah signifikan yang lebih besar pada nitrofurans, kadmium, parasit, Listeria monocytogenes, pelabelan yang tidak tepat, kontrol yang buruk/kurang memadai, dan pembusukan. Masalah signifikan yang lebih sedikit adalah karena kontaminasi sulfit dan Vibrio sp.
- Tujuan Penulisan
- Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi keamanan pangan
- Mengetahui resistensi Salmonella typhi yang diisolasi dari ikan Serigala/ ikan ganas (Hoplias malabaricus) terhadap Antibiotik dan mengetahui aplikasi bakteri penghambat dalam menghambat pertumbuhan bakteri Vibrio dalam pemeliharaan larva udang windu
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Menurut Undang-undang Republik Indonesia no. 18/2012 tentang pangan, bahwa keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah Pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, sehingga aman untuk dikonsumsi.
Pangan yang tidak aman akan menyebabkan penyakit yang disebut foodborne disease, yaitu segala penyakit yang timbul akibat mengkonsumsi pangan yang mengandung bahan atau senyawa beracun atau organisme patogen
Penyebab Ketidakamanan Pangan
Penyebab ketidakamanan pangan adalah (Baliwati, dkk, 2004):
- Segi gizi, jika kandungan gizinya berlebihan yang dapat
menyebabkan berbagai penyakit degeneratif seperti jantung,
kanker, diabetes.
- Segi kontaminasi, jika pangan terkontaminasi oleh mikroorganisme
ataupun bahan-bahan kimia.
Penyebab pangan tersebut berbahaya karena, makanan tersebut dicemari zat-zat yang membahayakan kehidupan dan juga karenan didalam makanan itu sendiri telah terdapat zat-zat yang membahayakan kesehatan (Azwar, 1995). Keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia. Sedangkan mutu pangan adalah nilai yang ditentukan atas dasar kriteria
keamanan pangan, kandungan gizi dan standar perdagangan terhadap bahan makanan dan minuman.
Dalam menanggapi masalah keamanan pangan yang terkait dengan makanan hasil laut, produk ini harus memenuhi standar yang semakin ketat untuk memastikan mutu dan keamanannya.
Standar pangan umumnya berasal dari dua sumber. Pertama, Standar Sektor Publik, yang meliputi hukum dan peraturan pangan yang dilaksanakan oleh pemerintah. Tergantung pada negara, peraturan dapat lebih spesifik sesuai negara itu sendiri, atau berpotensi diterapkan disuatu wilayah (misalnya Uni Eropa) atau blok perdagangan. Negara-negara anggota Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization – WTO) mengakui Codex Alimentarius Commission sebagai sumber utama untuk standar pangan, pedoman dan dokumen terkait seperti kode praktek. Dokumen Codex seringkali menjadi dasar untuk menyusun hukum dan peraturan spesifik negara yang oleh lembaga pengawasan pangan nasional.
Standar Codex mengalami revisi berkesinambungan yang prosesnya diatur oleh kerjasama program standar pangan FAO/WHO. Halaman berikut memberikan sebagian daftar standar Codex yang diterapkan untuk sektor perikanan termasuk budidaya.
BAB III
PEMBAHASAN
Perundang-undangan Pangan
Undang-undang pangan pada tahap awal digunakan untuk pencegahan penipuan pada penjualan produk pangan. Seiring berkembangnya jaman, perundang-undangan pangan selanjutnya mencakup keamanan produk pangan atau lebih mengutamakan pertimbangan kesehatan bagi konsumen, sebagai contoh kemanan pangan terkait dengan mikrobiologi yang ada kemungkinan berbahaya pada manusia. Selain itu ada juga standard/peraturan khusus yang ditentukan terkait dengan permasalahan bahaya yang lebih serius, seperti standard pengolahan pangan itu sendiri daripada pencapaian standar mikrobiologinya. Antar negara di belahan dunia menerapkan standard kemanan pangan yang berbeda-beda, hal ini akan menjadikan hambatan pada proses jual-beli produk pangan, perlu adanya penyelarasan perundang-undangan pangan agar semua negara terfasilitasi dalam proses jual-beli produk pangan.
Hukum serta perundang-undangan yang mengatur higiene makanan seperti penggunaan zat aditif serta pelabelan merupakan suatu “Single Act Measures” atau langkah tindakan tunggal yang berarti adalah bagian dari kemajuan menuju pasar tunggal. Langkah-langkah ini terkait dengan pentingnya aliran barang dan jasa secara bebas di pasar internasional. Undang-undang dibuat dengan standar tinggi sebagai fungsi perlindungan konsumen terkait keamanan pangan. Konsumen seharusnya mengetahui secara memadai tentang produk pangan yang beredar, misalnya sifat bahan, asal produk, serta kesesuaian produk dengan syarat yang berlaku.
Di Indonesia, untuk mengatur Keamanan Pangan, pemerintah telah menetapkan peraturan perundangan-undangan yaitu Undang-Undang No. 7 tahun 1996 tentang Pangan, serta Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan. Menurut Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan, Keamanan Pangan didefinisikan sebagai kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan manusia. Mengacu kepada peraturan perundangan tentang keamanan pangan yang dikeluarkan oleh pemerintah ada beberapa hal yang berpengaruh terhadap keamanan suatu produk pangan, yaitu :
- Sanitasi Pangan
Perlakuan efektif Sanitasi Pangan dimaksudkan untuk menghilangkan sel vegetatif mikroba yang membahayakan kesehatan, sekaligus mengurangi mikroba lainnya yang tidak diinginkan, tanpa mempengaruhi mutu produk dan keamanan bagi konsumen. Selain itu perlu adanya syarat higiene pada alat, tempat, pekerja, serta sarana lain yang bersangkutan dengan proses produksi pangan.
- Penggunaan Bahan Tambahan Pangan
Jenis dan batas maksimum penggunaan Bahan Tambahan Pangan (BTP) diatur dalam pasal 10 sampai 12 UU No. 7/1996 dan peraturan di bawahnya. Penggunaan BTP harus diatur agar bahaya terhadap kesehatan manusia dapat dicegah. Selain itu dalam Permenkes No. 722/Menkes/PER/IX/88 selain menetapkan BTP yang aman juga menetapkan Bahan Terlarang dan Berbahaya. Untuk menguji keamanan BTP, di tingkat dunia BTP dinyatakan aman oleh suatu badan atau komite ahli yang dibentuk Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Organisasi Pangan Dunia (FAO) yang dikenal dengan Joint Expert Committee on Food Additives and Contaminant, disingkat JECFA.
- Rekayasa Genetika dan Iradiasi Pangan
Pangan Produk Rekayasa Genetika (PRG) adalah pangan yang diproduksi atau menggunakan bahan baku, Bahan Tambahan Pangan dan bahan lain yang dihasilkan dari proses rekayasa genetika. Proses rekayasa genetika adalah proses yang melibatkan pemindahan gen (pembawa sifat) dari suatu jenis hayati ke jenis hayati lain yang berbeda atau sama, untuk mendapatkan jenis baru yang mampu menghasilkan pangan yang lebih unggul. Untuk menjamin keamanan PRG, produsen wajib memeriksakan keamanannya bagi kesehatan manusia sebelum produk tersebut diedarkan ke konsumen.
Iradiasi pangan adalah metode penyinaran terhadap pangan, baik dengan menggunakan zat radioaktif maupun akselerator untuk mencegah terjadinya pembusukan dan kerusakan serta membebaskan pangan dari jasad renik patogen. Proses produksi dengan teknik atau metode iradiasi wajib memenuhi persyaratan kesehatan, penanganan limbah dan penanggulangan bahaya bahan radioaktif. Hal itu penting untuk menjamin keamanan pangan, keselamatan kerja dan kelestarian lingkungan.
- Kemasan Pangan
Menurut UU No.7/1996 tentang Pangan, setiap produsen pangan wajib mengemas produk pangan dengan kemasan yang aman, serta mampu melindungi pangan dari cemaran yang merugikan atau membayakan kesehatan manusia. Kemasan yang baik, mampu memberi perlindungan terhadap produk dari benturan fisik, cahaya, oksigen dan uap air yang dapat memicu pertumbuhan mikroba dan reaksi enzimatik.
- Penggunaan Bahan Terlarang dan Berbahaya Pada Produk Pangan
Sesuai dengan Permenkes No. 772/Menkes/PER/IX/88, produsen makanan dilarang menggunakan bahan-bahan yang ditetapkan sebagai Bahan Terlarang dan Berbahaya, antara lain adalah:
- Asam Borat (Boraks)
- Asam Salisilat
- Dietil Pirokarbonat
- Dulsin
- Formalin
- Kalium Bromat
- Kalium Klorat
- Minyak Nabati yang dibrominasi
- Kloramfenikol
- Nitrafurazon
Berdasarkan jurnal “Pola Resistensi Salmonella typhi yang Diisolasi dari Ikan Serigala(Hoplias malabaricus) terhadap Antibiotik” didapatkan hasil yaitu :
Resistensi antibiotik
Resistensi adalah mekanisme tubuh yang secara keseluruhan membuat rintangan untuk berkembangnya penyerangan atau pembiakan agent menular atau kerusakan oleh racun yang dihasilkannya. Resistensi antibiotika timbul bila suatu antibiotika kehilangan kemampuannya untuk secara efektif mengendalikan atau membasmi pertumbuhan bakteri dengan kata lain bakteri mengalami “resistensi” dan terus berkembangbiak meskipun telah diberikan antibiotika dalam jumlah yang cukup untuk pengobatan.
Resistensi antibiotik meningkat di sejumlah patogen makanan. Hal tersebut ditunjukan pada kasus yang terjadi di inggris dan wales pada tahun 1981 dan 1994:
Pada tahun 1984, turunan Salmonella typhimurium DT104 resisten terhadap antibiotik seperti ampicillin, chloramphenicol, streptomycin, sulphonamides dan tetracyline (R-type ACSSuT). Bakteri ini pertamakali diisolasikan di Inggris yang diperoleh dari hewan ternak seperti babi, daging unggas dan berbagai makanan manusi. Pada tahun 1995, jumlah isolasi bakteri ini naik hingga 3000. Kenaikan ini juga ditandai dengan resistennya bakteri tersebut terhadap antibiotik trimethorpin dan ciprofloxacin. Turunan lain dari Salmonella hadar mengalami resisten terhadap antibiotik jenis ciprofloxain, kemudian bakteri lain Salmonella serovar juga mengalami resisten terhadap antibiotik ini. Hal yang sama juga terjadi pada bakteri Campylobacter spp. di Belanda, Spanyol dan Austria. Hal tersebut masuk akal terjadi karena pemberian enrofloxacin (antibiotik lain flouroquinolone) pada makanan hewan mengakibatkan Salmonella menjadi reisiten terhadap antibiotik ciprofloxacin. Awalnya penggunaan enrofloxacin dibatasi di Eropa, namun mendapat lisensi untuk dipakai di Inggris pada tahun November 1993. Sejak saat itu frekuensi reisisten bakteri Salmonella typhimurium terhadap antibiotik ciprofloxacin meningkat dari nol menjadi 14%.
Berdasarkan jurnal kedua yang kami review tentang “Pola Resistensi Salmonella typhi yang Diisolasi dari Ikan Serigala/ ikan ganas(Hoplias malabaricus) terhadap Antibiotik” , dijelaskan bahwa resistensi Salmonella typhi pada ikan menggambarkan dua hal yaitu pertama, bahwa bakteri yang menginfeksi ikan telah resisten sebelumnya. Bakteri ini dapat berasal dari lingkungan dan hospes (manusia dan hewan). Kedua, bahwa bakteri mengalami proses resistensi di dalam tubuh ikan akibat pemberian antibiotik yang kurang tepat dan berkepanjangan. Sedangkan antibiotik streptomycin, gentamycin, dan chlorampenicol memiliki sensitivitas yang tinggi dalam menghambat bakteri S. typhidengan diameter hambat berturut-turut 16 mm, 21 mm dan 25 mm. (Monica et al., 2013)
Pengobatan infeksi bakteri dapat diberikan antibiotik baik yang bersifat bakteriostatik maupun bakteriosidal. Namun penggunaan antibiotik pada manusia dan hewan yang kurang bijak menimbulkan munculnya mikroorganisme resisten, tidak hanya mikroba sebagai target antibiotik tersebut, tetapi juga mikroorganisme lain yang memiliki habitat yang sama dengan mikroorganisme target .Penggunaan antibiotik dalam jumlah besar kurang efisien, tidak ekonomis, dan mengakibatkan bertambahnya jenis bakteri yang resisten, serta dapat mencemari lingkungan (Yuhana, 2008). Kejadian resisten antibotik mengakibatkan obat tidak mampu menghambat atau membunuh bakteri yang bersangkutan sehingga pengobatan akan sia-sia (Besung, 2009).Resistensi antimikroba telah menjadi masalah global. Strategi untuk menghindari resistensi adalah menemukan inovasi dan antimikroba baru (Devendr et al., 2011). Produksi antibiotika baru yang berasal dari fitofarmaka (tanaman obat) merupakan alternatif yang perlu dipertimbangkan.
Resistensi ini biasanya berawal dari kesalahan diagnosa dalam menentukan antibiotik yang tepat dalam menangani suatu penyakit, selain itu beberapa faktor yang mendukung antara lain :
- Penggunaannya yang kurang tepat (irrasional) : terlau singkat, dalam dosis yang terlalu rendah, diagnose awal yang salah, potensi yang tidak kuat.
- Penggunaannya untuk hewan dan binatang ternak : antibiotik juga dipakai untuk mencegah dan mengobati penyakit infeksi pada hewan ternak. Dalam jumlah besar antibiotik digunakan sebagai suplemen rutin untuk profilaksis atau merangsang pertumbuhan hewan ternak. Bila dipakai dengan dosis subterapeutik, akan meningkatkan terjadinya resistensi.
- Penggunaan monoterapi : dibandingkan dengan penggunaan terapi kombinasi, penggunaan monoterapi lebih mudah menimbulkan resistensi.
- Pengawasan : lemahnya pengawasan yang dilakukan pemerintah dalam distribusi dan pemakaian antibiotika. Misalnya, pasien dapat dengan mudah mendapatkan antibiotika meskipun tanpa peresepan dari dokter. Selain itu juga kurangnya komitmen dari instansi terkait baik untuk meningkatkan mutu obat maupun mengendalikan penyebaran infeksi (Kemenkes RI, 2011).
Mekanisme resistensi oleh bakteri dapat melalui beberapa cara:
- Bakteri mensintesis suatu enzyme inaktivator atau penghancur antibiotik. Misalnya Staphylococcy, resisten terhadap Penicilin G menghasilkan β-Laktamase yang merusak obat tersebut. β-Laktamase lain dihasilkan oleh bakteri batang gram negatif.
- Bakteri melakukan mutasi genetic sehingga sasaran antibiotik tidak bekerja.
- Terjadinya perubahan permeabilitas bakteri terhadap obat tertentu. misalnya tetrasiklin, tertimbun dalam bakteri yang rentan tetapi tidak pada bakteri yang resisten.
- Bakteri mengembangkkan suatu perubahan struktur sasaran bagi obat. Misalnya resistensi kromosom terhadap aminoglikosida berhubungan dengan hilangnya (atau perubahan) protein spesifik pada subunit 30s ribosom bakteri yang bertindak sebagai reseptor pada organisme yang rentan.
- Terjadinya perubahan pada metabolic pathway yang menjadi target obat,misalnya kuman yang resisten terhadap obat golongan sulfonamida, tidak memerlukan PABA dari luar sel, tapi dapat menggunakan asam folat, sehingga sulfonamida yang berkompetisi dengan PABA tidak berpengaruh pada metabolisme sel.
- Bakteri mengembangkan perubahan enzim yang tetap dapat melakukan fungsi metabolismenya tetapi lebih sedikit dipengaruhi oleh obat dari pada enzim pada kuman yang rentan. Misalnya beberapa bakteri yang rentan terhadap sulfonamid, dihidropteroat sintetase, mempunyai afinitas yang jauh lebih tinggi terhadap sulfonamid dari pada PABA (Jawetz, 1997).
Program keselamatan seluruh dunia
Program keamanan pangan membutuhkan pengawasan yang memadai untuk menyusun melaporkan wabah keracunan makanan, tanda masalah pada makanan yang terkontaminasi dan mengatur studi epidemiologi yang spesifik. Sebagian besar Negara memiliki skema pemberitahuan untuk kasus keracunan makanan dan laporan tahunan dikumpulkan. Koordinasi upaya oleh industry makanan dan pemerintah diperlukan untuk mencapai program pengawasan makanan yang efektif dan karenanya program keamanan pangan untuk usaha misalnya Sweden untuk mengurangi salmonella pada unggas karena produksi dan distribusi pangan merupakan latihan global yang koordinasi ini masih dalam tahap awal; Namun demikian berbagai inisiatif yang dibahas dalam bagian ini.
Orang-orang di Eropa mulai terinfeksi Salmonella pada tahun 1995 .Dilakukan upaya-upaya peningkatan pencegahansalmonellosisdi Eropa, seperti:
- Menyelaraskan dan memperpanjang penggunaan fag mengetik untuk serotipe salmonella yang paling umum
- Mengidentifikasi wabah internasional salmonellosis dan membantu dalam studi epidemiologi berikutnya.
- Membuat database internasional mengenai laporan laboratorium salmonella pada manusia yang diperbarui secara teratur dan tersedia untuk setiap tim yang berpartisipasi.
- Penggunaan sistem telematika yang cocok untuk mentransfer informasi elektronik untuk memperbarui database internasional dan menyebarkan informasi pada waktu yang tepat.
- Mekanisme otomatis untuk mendeteksi pengelompokan kasus untuk memfasilitasi wabah internasional salmonellosis
Berdasarkan jurnal kedua yang kami review tentang “PENERAPAN BUDIDAYA UDANG RAMAH LINGKUNGAN DAN BERKELANJUTAN MELALUI APLIKASI BAKTERI ANTAGONIS UNTUK BIOKONTROL VIBRIOSIS UDANG WINDU (Penaeus monodon Fabr.)
Permasalahan utama yang dihadapi petambak udang windu adalah serangan penyakit bakteri udang menyala (luminescent vibriosis), karena udang yang terserang pada keadaan gelap tampak bercahaya. Penyebab penyakit udang menyala tersebut adalah bakteri Vibrio yang menyebabkan wabah pada awal tahun 1990 hingga sekarang (Irianto, 2003). Hal ini terjadi karena merosotnya mutu lingkungan budidaya yaitu mutu air sumber dari perairan di sekitarnya dan mutu lingkungan tambak sendiri (Atmosumarsono et al., 1995). Bakteri Vibrio melakukan serangan secara ganas dan cepat sehingga dapat menimbulkan kematian total serta menyerang udang di pembenihan maupun pembesaran. Prayitno (1994) menyebutkan bahwa dari segi ekonomi, berjangkitnya wabah penyakit vibriosis ini melemahkan roda industri udang nasional.
Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mendapatkan suatu metode pencegahan dan penanggulangan penyakit udang windu, antara lain penggunaan obat-obatan dan antibiotik. Penggunaan antibiotik dan bahan kimia tidak efektif lagi karena tidak memberikan hasil yang memuaskan karena pada dosis tertentu justru berdampak negatif dengan meningkatkan resistensi bakteri-bakteri patogen terhadap konsentrasi antibiotik (Tjahjadi et al., 1994). Sejumlah isolat Vibrio berpendar yang diisolasi dari tempat pembenihan udang windu di Jawa Timur ternyata resisten terhadap berbagai macam antibiotik seperti spektinomisin, amoksisilin, kloramfenikol, eritromisin, kanamisin, tetrasiklin, ampisilin, streptomisin, dan rifampisin. Sementara di lain pihak antibiotik bersifat persisten di alam dan bahkan menjadi bumerang terhadap ekspor udang Indonesia (Tompo et al., 2006).
Salah satu upaya yang dapat dilakukan guna mempertahankan keberlanjutan daya dukung ekosistem tambak adalah melalui penggantian aplikasi bahan kimia dan obat-obatan melalui aplikasi musuh alami hama penyakit dan patogen. Program eksplorasi dan pengembangan musuh alami untuk pengendalian hama dan penyakit akan sangat efektif diterapkan dalam upaya pengendalian hama dan penyakit terpadu yaitu melalui aplikasi probiotik. Untuk mengembangkan probiotik yang dapat mengendalikan penyakit telah dilakukan studi mengenai mikroorganisme yang mempunyai kemampuan menekan patogen. Salah satu bentuk probiotik adalah konsorsia bakteri antagonis terhadap patogen udang yang efektif menekan populasi patogen dalam ekosistem tambak. Lactobacillus spp. dilaporkan efektif menghambat vibriosis (Jiravanichpaisal dan Chauychuwong, 1997), Pseudomonas fluorescens dapat menghambat Vibrio anguilarum (Gram et al., 1999), Bacillus spp. dan Staphylococcus spp. yang berasal dari tambak mampu menekan bakteri Vibrio (Suprapto, 2005). Pemanfaatan bakteri antagonis sebagai agen pengendalian hayati akan semakin penting dari segi ekosistem akuakultur, karena dapat mengurangi bahkan menghilangkan penggunaan antibiotik sehingga tercipta sistem budidaya ramah lingkungan sekaligus menerapkan sistem keamanan hayati untuk mengurangi risiko kontaminasi penyakit pada produksi budidaya udang.
Bakteri Vibrio merupakan genus yang dominan pada lingkungan air payau dan estuaria. Umumnya bakteri Vibrio menyebabkan penyakit pada hewan perairan laut dan payau. Sejumlah spesies Vibrio yang dikenal sebagai patogen seperti V. alginolyticus, V. anguillarum, V. carchariae, V. cholerae, V. harveyii, V. ordalii dan V. vulnificus (Irianto, 2003). Menurut Egidius (1987) Vibrio sp. menyerang lebih dari 40 spesies ikan di 16 negara. Vibrio sp. mempunyai sifat gram negatif, sel tunggal berbentuk batang pendek yang bengkok (koma) atau lurus, berukuran panjang (1,4 – 5,0) µm dan lebar (0,3 – 1,3) µm, motil, dan mempunyai flagella polar (Gambar 1). Menurut Pitogo et al., (1990), karakteristik spesies Vibrio berpendar (Tabel 1). Sifat biokimia Vibrio adalah oksidase positif, fermentatif terhadap glukosa dan sensisif terhadap uji O/129 (Logan, 1994 cit. Gultom, 2003).
Bakteri Vibrio sp. adalah jenis bakteri yang dapat hidup pada salinitas yang relatif tinggi. Menurut Rheinheiner (1985) cit. Herawati (1996), sebagian besar bakteri berpendar bersifat halofil yang tumbuh optimal pada air laut bersalinitas 20-40‰. Bakteri Vibrio berpendar termasuk bakteri anaerobic fakultatif, yaitu dapat hidup baik dengan atau tanpa oksigen. Bakteri Vibrio tumbuh pada pH 4 – 9 dan tumbuh optimal pada pH 6,5 – 8,5 atau kondisi alkali dengan pH 9,0 (Baumann et al., 1984 cit. Herawati, 1996).
Genus Vibrio merupakan agen penyebab penyakit vibriosis yang menyerang hewan laut seperti ikan, udang, dan kerang-kerangan. Spesies Vibrio yang berpendar umumnya menyerang larva udang dan penyakitnya disebut penyakit udang berpendar. Bakteri Vibrio menyerang larva udang secara sekunder yaitu pada saat dalam keadaan stress dan lemah, oleh karena itu sering dikatakan bahwa bakteri ini termasuk jenis opportunistic patogen. Gambar vibriosis pada tahap postlarva dan koloni Vibrio sp. dapat dilihat pada Gambar 2. Pemberian pakan yang tidak terkontrol mengakibatkan akumulasi limbah organik di dasar tambak sehingga menyebabkan terbentuknya lapisan anaerob yang menghasilkan H2S (Anderson et al., 1988 cit. Muliani, 2002). Akibat akumulasi H2S tersebut maka bakteri patogen oportunistik, jamur, parasit, dan virus mudah berkembang dan memungkinkan timbulnya penyakit pada udang (Tompo et al., 1993 cit. Muliani, 2002).
Patogenesis Bakteri Vibrio pada Udang Windu
Tingkat kematian udang yang terkena Vibrio harveyii berbeda-beda berdasarkan umur. Pada stadia zoea I tingkat kematian udang sebesar 74%, stadia mysis I 73%, dan postlarva 1 (PL1) 69%, postlarva 2 (PL2) 51,5% (Prayitno dan Latchford, 1995 cit. Muliani, 2002). Jiravanichpaisal et al., (1994) cit. Muliani (2002) menyatakan bahwa mortalitas udang windu dewasa yang terkena Vibrio harveyii isolat B-2 dengan kepadatan 8,20 x 105 cfu/ekor sebesar 100%, dan udang yang diinfeksi dengan Vibrio harveyii isolat B-4 dengan kepadatan 1,55 x 106 cfu/ekor sebesar 80%.
A. Udang tampak normal | B. Udang berpendar pada cahaya gelap |
Gambar 3. Bioluminescens Udang Windu Vibriosis (Breed et al., 1948) |
Tingkat patogenesis bakteri ditentukan oleh suatu mekanisme dalam proses pertumbuhan. Menurut Greenberg (1999) cit. Muliani (2002) suatu mekanisme yang umum untuk mengontrol kepadatan populasi bakteri gram negatif adalah dengan menghambat komunikasi antar sel. Kemampuan komunikasi satu sama lain terjadi setelah mencapai quorum sensing yang terjadi karena adanya suatu senyawa acylhomoserine lactone. Sifat virulensi Vibrio harveyii berkaitan erat dengan fenomena bioluminescense yang dikontrol oleh sistem quorum sensing.
Penyakit udang yang disebabkan oleh bakteri Vibrio sp. masih menjadi fokus perhatian utama dalam produksi budidaya udang. Penggunaan antibiotik dalam budidaya udang adalah mahal dan merugikan karena dapat memunculkan strain bakteri yang tahan terhadap antibiotik serta munculnya residu antibiotik dalam kultivan. Antibiotik merupakan suatu senyawa kimia yang sebagian besar dihasilkan oleh mikroorganisme, karakteristiknya tidak seperti enzim, dan merupakan hasil dari metabolisme sekunder. Penggunaan antibiotik yang berlebih pada tubuh manusia dapat menyebabkan resistensi sel mikroba terhadap antibiotik yang digunakan. Resistensi sel mikroba adalah suatu sifat tidak terganggunya sel mikroba oleh antibiotik (Gan et.al., 1987 dalam Putraatmaja, 1997). Sejumlah isolat Vibrio berpendar yang diisolasi dari hatcheri udang windu di Jawa Timur ternyata resisten terhadap berbagai macam antibiotik seperti spektinomisin, amoksisilin, kloramfenikol, eritromisin, kanamisin, tetrasiklin, ampisilin, streptomisin, dan rifampisin. Sementara di lain pihak antibiotik bersifat persisten di alam dan bahkan menjadi bumerang terhadap ekspor udang Indonesia (Tompo et al., 2006).
Salah satu cara pengendalian bakteri patogen adalah mempertemukan dengan bakteri antagonisnya. Vershere et al. (2000) cit. Isnansetyo (2005) mengemukakan bahwa bakteri antagonis dalam perannya sebagai agen pengendalian hayati melalui mekanisme menghasilkan senyawa penghambat pertumbuhan patogen, kompetisi pemanfaatan senyawa tertentu atau kompetisi tempat menempel, mempertinggi respon imun inang, meningkatkan kualitas air dan adanya interaksi dengan fitoplankton. Bakteri antagonis yang digunakan sebagai agen pengendalian hayati dimasukkan dalam istilah probiotik. Menurut Gatesoupe (1999), probiotik merupakan mikrobia yang diberikan dengan berbagai cara sehingga masuk dalam saluran pencernaan dengan tujuan mempertinggi derajat kesehatan inang.
Menurut Gomez-Gil et al. (2000) cit. Tepu, (2006), pengendalian hayati adalah penggunaan musuh alamiah untuk mengurangi kerusakan yang ditimbulkan oleh organisme yang berbahaya atau pengaturan populasi penyakit oleh musuh alamiahnya. Tjahjadi et al. (1994) menyatakan bahwa populasi bakteri Vibrio harveyii di lingkungan pemeliharaan udang dapat ditekan dengan cara mengintroduksikan bakteri tertentu yang diisolasi dari perairan laut di sekitar tambak atau pembenihan udang. Tetraselmis suecica dilaporkan mampu menghambat Aeromonas hydrophila, A. salmonidica, Serratia liquefaciens, Vibrio anguilarum, V. salmonisida, Yerisnia rockery (Austin et al., 1992), Lactobacillus spp. dilaporkan efektif menghambat vibriosis (Jiravanichpaisal dan Chauychuwong, 1997), Pseudomonas fluorescens dapat menghambat Vibrio anguilarum (Gram et al., 1999), Bacillus spp., dan Staphylococcus spp. yang berasal dari tambak mampu menekan bakteri Vibrio (Suprapto, 2005).
Bakteri Vibrio sp. NM 10 yang diisolasi dari Leiognathus nuchalis bersifat antagonis terhadap Pasteurella piscicida karena menghasilkan protein dengan berat molekul kuang dari 5 kDA. Protein tersebut diduga bacteriocin atau senyawa serupa bacteriocin (bacteriocin like substance) (Sugita et al., 1997 cit. Isnansetyo, 2005). Bacteriocin adalah senyawa yang banyak dihasilkan oleh bakteri asam laktat (Ringo and Gatesoupe, 1998). Kamei dan Isnansetyo (2003) menemukan Pseudomonas sp. AMSN mampu menghambat pertumbuhan Vibrio alginolyticus karena menghasilkan senyawa 2,4 diacetylploroglucinol. Bacillus sp. NM 12 yang diisolasi dari intestine ikan Callionymus sp. mampu menghambat Vibrio vulnificus RIMD 2219009 dengan cara menghasilkan siderofor (Sugita et al., 1998). Siderofor merupakan protein spesifik pengikat ion Fe dengan berat molekul rendah yang mampu melarutkan Fe yang mengendap. Mekanisme tersebut merupakan kompetisi pemanfaatan senyawa tertentu oleh mikroorganisme.
Pengembangan Bakteri Antagonis
Menurut Peraturan Menteri Pertanian No. 411 tahun 1995, pengendalian hayati adalah setiap organisme yang meliputi spesies, subspesies, varietas, semua jenis serangga, nematoda, protozoa, cendawan (fungi), bakteri, virus, mikoplasma, serta organisme lainnya dalam semua tahap perkembangannya yang dapat dipergunakan untuk keperluan pengendalian hama dan penyakit atau organisme pengganggu, proses produksi, pengolahan hasil pertanian, dan berbagai keperluan lainnya. Tahapan pengembangan bakteri antagonis sebagai agen pengendalian hayati dapat dilakukan melalui:
- Seleksi Bakteri Antagonis
Seleksi dilakukan dengan mengisolasi calon agen pengendali hayati dari populasi alaminya, seperti kelompok mikroba saprofit atau nonpatogen, atau mutan yang tidak patogen. Pada tahap seleksi awal ini, informasi tentang keefektifan dan identitas calon agen pengendali hayati perlu diketahui dengan baik agar pengembangannya di masa datang tidak menimbulkan masalah. Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol telah melakukan penelitian tentang pengendalian Vibrio Harveyii secara biologis pada larva udang windu dan diperoleh dua isolat bakteri penghambat yaitu GSB-95030 dan GSB-95033 (Roza et al., 1998). Berdasarkan uji biokimia dan karakteristik biologis (lampiran 1), isolat GSB-95030 diidentifikasi sebagai Vibrio alginolyticus sedangkan isolat GSB-95033 diidentifikasi sebagai Flavobacterium meningosepticum.
Suatu strain dalam satu spesies dapat dijadikan sebagai agen pengendalian hayati tetapi strain yang lain dalam spesies tersebut mungkin tidak mempunyai kemampuan sebagai pengendali hayati terhadap patogen yang sama. Selain itu suatu strain dari suatu spesies mungkin dapat bersifat patogen tetapi strain lain dari spesies tersebut dapat digunakan sebagai pengendali hayati. Sebagai contohnya Vibrio alginolyticus. Strain dari bakteri Vibrio tersebut dapat digunakan sebagai agen pengendali hayati dalam budidaya salmon (S. salam), udang windu (Penaeus monodon) dan udang vannamei (Litopneaeus vannamei), walaupun strain lain dari Vibrio alginolyticus juga diketahui sebagai patogen.
- Aplikasi Bakteri Antagonis
Aplikasi pengendalian hayati ini dapat dicobakan mulai dari penyediaan pakan alami yaitu fitoplankon (S. Costatum) dan zooplankon (Brachionus dan Artemia) pada pemeliharaan larva, post larva, maupun benih. Inveksi patogen khususnya pada stadium larva dan post larva sangat tinggi karena sejak kecil udang terpapar dalam air yang banyak mengandung mikroorganisme. Aplikasi bakteri antagonis dapat diterapkan dalam pembuatan pakan obat yaitu dengan menambahkan probiotik dari bakteri antagonis. Pakan tersebut diharapkan dapat membantu menciptakan mekanisme pertahanan tubuh udang, sehingga udang tidak mudah terserang vibriosis. Suprapto (2005) menggunakan formulasi pakan obat dengan metode pembuatan sebagai berikut: Probiotik antagonis Bacillus sp. dengan kepadatan 12,5×103 sel/ml dicampurkan ke dalam pakan. Pencampuran bakteri pada pakan dilakukan dengan cara menumbuhkan bakteri selama 48 jam pada TSA pada suhu 250C dengan 1% NaCl (w/v). Sel bakteri kemudian di panen dengan sentrifugasi 10.000xg selama 15 menit. Sel dimasukkan kedalam 100 ml physiological saline (0,85% NaCl) sebanyak 2,5×105 sel/ml dan dicampur dengan jumlah yang sama dengan minyak ikan. Emulsi dicampurkan kedalam 1 kg pakan dengan cara mengaduk selama 30 menit untuk mendapatkan dosis eqivalen 25×103 sel/g pada pakan dengan jumlah kandungan minyak ikan sebanyak 10% (w/v).
- Uji Efektivitas Bakteri Antagonis
Tahap kedua adalah menguji keefektifan agen pengendali hayati dalam kondisi terbatas dan homogen, misalnya dalam cawan petri in vitro, terhadap patogen target. Apabila suatu agen pengendali hayati menunjukkan penekanan terhadap patogen target, yang ditunjukkan dengan terbentuknya zona hambatan maka dilakukan tahap pengujian terbatas dalam kondisi terkontrol. Penelitian tentang uji sensitivitas bakteri antagonis telah dilakukan oleh Roza et al., (1999) terhadap isolat GSB-95030 dan GSB-95033. Metode yang digunakan berupa sensitivity disc agar (SDA) (Gambar 7).
Isolat GSB-95030 dan GSB-95033
6 botol (15 ml) pepton broth 1 % NaCl
3 botol GSB-95030 3 botol GSB-95033
Inkubasi 24, 72 dan 144 jam
Sentrifus 15 menit 3000 rpm
Ambil supernatan 5 ml
Kultur Vibrio harveyi kedalam petri 20 mL yang berisi media Sensitivity Disk Agar (SDA) secara merata
Rendam kertas sensitivity disk selama 1 menit dalam supernatan yang telah diencerkan
Letakkan kertas sensitivity disk pada tengah pelat agar
(kontrol kertas sensitivity disk tanpa direndam)
Inkubasi 24 jam 25 °C
Amati zona hambatnya
Gambar 7. Diagram alir pengujian sensitivitas bakteri penghambat terhadap pertumbuhan Vibrio harveyii
Berdasarkan hasil penelitian Roza et al. (1999) diketahui bahwa kedua isolat bakteri penghambat GSB-95030 dan GSB-95033 tersebut mempunyai aktivitas dalam menekan perkembangan Vibrio Harveyii. Hal ini terlihat dengan adanya zona hambat di sekeliling kertas sensitivity disk yang bebas dari Vibrio Harveyii (Tabel 1), sedangkan dalam aplikasi pemanfaatan bakteri penghambat GSB-95030 dan GSB-95033 dalam pemeliharaan larva udang dapat menekan perkembangan Vibrio harveyii dengan skala pemeliharaan yang lebih besar.
Hasil aplikasi pemanfaatan bakteri penghambat dalam pemeliharaan larva udang dapat dilihat pada (Tabel 2). Isolat-isolat bakteri penghambat GSB-95030 dan GSB-95033 tersebut mampu menghambat pertumbuhan bakteri Vibrio harveyii dalam air pemeliharaan larva udang windu sampai kepadatan yang jauh lebih rendah yakni 5,3 x 102 cfu/ml dengan sintasan 67,8% dan 9,9 x 102 cfu/ml dengan sintasan 63,5%, dibandingkan dengan kontrol 8,7 x 104 cfu/ml dengan sintasan lebih rendah 18,1%.
Tabel 1. Sensitivitas V. Harveyii terhadap isolat GSB-95030 dan GSB-95033 dengan 24, 72, dan 144 jam masa inkubasi
Isolat | Zona (cm) yang bebas Vibrio harveyii | ||
24 jam | 72 jam | 144 jam | |
GSB-95030 | 0.60 | 0.71 | 0.80 |
GSB-95033 | 0.90 | 0.98 | 1.02 |
Kontrol | 0.00 | 0.00 | 0.00 |
Sumber: Roza et al., 1999
Apabila pada tahap ini kemampuan agen pengendali hayati masih konsisten dalam menekan perkembangan patogen target maka perlu dilanjutkan dengan tahap uji lapang dalam skala terbatas. Pada pengujian lapang, biasanya agen pengendali hayati harus diformulasikan secara lebih baik. Dalam proses pembuatan formula, semua bahan yang digunakan harus dipastikan tidak akan menimbulkan kerusakan pada target, mikroba bukan sasaran, dan lingkungan.
- Komersialisasi
Tahap terakhir adalah komersialisasi agen pengendali hayati. Pada tahap ini diperlukan peran industri untuk memperbanyak agen pengendali hayati secara massal dan memformulasikannya dalam bentuk yang lebih stabil dan terstandar. Pada tahap akhir inilah data tentang analisis risiko dari suatu agen pengendali hayati harus dilengkapi untuk memperoleh izin penggunaannya. Beberapa agens hayati berpeluang dapat menyebabkan kerusakan pada lingkungan atau mempunyai hubungan yang erat dengan patogen yang menyebabkan penyakit pada manusia, hewan, dan tanaman. Kajian khusus untuk mengelaborasi peluang tersebut perlu dilakukan untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan akibat penggunaan suatu agens hayati. Berdasarkan pedoman yang disusun oleh FAO (1988 dan 1997) tentang agen hayati untuk tujuan komersial, setiap pengajuan harus dilengkapi dengan informasi mengenai kejelasan identitas dari bahan aktif, karakteristik biologi, data toksisitas, dan data residu serta toksisitas bagi lingkungan.
BAB IV
PENUTUP
- Kesimpulan
- Faktor yang berpengaruh terhadap keamanan suatu produk pangan, yaitu :
- Sanitasi Pangan,
- Penggunaan Bahan Tambahan Pangan,
- Rekayasa Genetika dan Iradiasi Pangan,
- Kemasan Pangan, dan
- Penggunaan Bahan Terlarang dan Berbahaya Pada Produk Pangan
- Pada jurnal “Pola Resistensi Salmonella typhi yang Diisolasi dari Ikan Serigala/ ikan ganas(Hoplias malabaricus) terhadap Antibiotik” , dijelaskan bahwa resistensi Salmonella typhi pada ikan menggambarkan dua hal yaitu pertama, bahwa bakteri yang menginfeksi ikan telah resisten sebelumnya. Bakteri ini dapat berasal dari lingkungan dan hospes (manusia dan hewan). Kedua, bahwa bakteri mengalami proses resistensi di dalam tubuh ikan akibat pemberian antibiotik yang kurang tepat dan berkepanjangan. Sedangkan antibiotik streptomycin, gentamycin, dan chlorampenicol memiliki sensitivitas yang tinggi dalam menghambat bakteri typhi dengan diameter hambat berturut-turut 16 mm, 21 mm dan 25 mm dan aplikasi bakteri penghambat pada udang windu yaitu Isolat-isolat bakteri penghambat GSB-95030 dan GSB-95033 yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri Vibrio harveyii dalam pemeliharaan larva udang windu
DAFTAR PUSTAKA
Atmosumarsono, M. M.I. Madeali, Muliani, dan A. Tompo. 1993. Studi Kasus Penyakit Udang di Kabupaten Pinrang. di dalam: Hanafi, A., M. Atmosumarsono., S. Ismawati. Seminar Hasil Penelitian Perikanan Budidaya Pantai; Maros, 16-19 Juli. Maros.
Azwar A. 2004. Aspek Kesehatan dan Gizi dalam Ketahanan Pangan. Di dalam :
Soekirman et al, editor. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII.
Jakarta, 17-19 Mei. Jakarta. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 129-131.
Baliwati, Y.F. 2004. Pengantar Pangan dan Gizi. Penebar Swadaya, Jakrta.
Besung NK. 2009. Kejadian Kolibasilosis Pada Anak Babi. Majalah Ilmiah Peternakan. Vol 13. No 1. Hal:1-7.
Devendr BN,. Rinivas N,. Talluri VSSLP, and Latha PS. 2011. Antimicrobial Activity OfMoringa Oleifera Lam., Leaf Extract, Against Selected Bacterial and Fungal Strains. International Journal of Pharma and Bio Sciences. ISSN 0975 – 6299.
Egidius, E. 1987. Vibriosis. Pathogenicity and Pathology. A Review. Aquaculture: 87: 15-28.
FAO. 1988 Guidelines for the Registration of Biological Pest Control Agents. Food and Agriculture Organization of the United Nations, Rome. 7 pp.
FAO. 1997. Code of Conduct For The Import And Release of Exotic Biological Control Agents. Biocontrol News and Information 18(4): 119N-124N.
Herawati, E. 1996. Karakterisasi Fisiologi dan Genetik Vibrio Berpendar sebagai Penyebab Penyakit Udang Windu. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Irianto, A. 2003. Probiotik Akuakultur. Yogyakarta: Gadjahmada University Press.
Jawetz, E. 1997. Principle of antimicrobial drug action. Basic and clinical pharmacology. Third edition. Appleton and Lange, Norwalk.
Jiranvanichpaisal, P., P. Chauchowang. 1997. The Use of Lactobacillus sp. as the Prebiotic Bacteria In The Giant Tiger Shrimp. Phuket, Thailand.
Gatesoupe, F.J. 1999. The Use of Probiotics in Aquaculture. Aquaculture. 180:147-185.
Gram, L., J. Melchiorsen, B. Spanggard, I. Huber, T.F. Nielsen. 1999. Inhibition of Vibrio anguilarum AH 2 a Possible Probiotic Treatment of Fish. Appl. Environ. Microbiol.: 123: 31-32.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Buku panduan hari kesehatan sedunia.
Monica, S.M., Mahatmi, H., Besung,K. 2013. Pola Resistensi Salmonella typhi yang Diisolasi dari Ikan Serigala (Hoplias malabaricus) terhadap Antibiotik. Jurnal Ilmu dan Kesehatan Hewan.Vol .1.No. 2. Hal :64-69.
Prayitno, S.B. 1994. Studies of Bacteria Causing Prawn Disease in Indonesia with Special Emphasis on Luminous Bacterial Disease. Bangor: School of Ocean Science. University of North Wales.
Putraatmaja, E. 1997. Analisis Residu Antibiotik Pada Udang Akibat Perlakuan Sebelum Proses Pengolahan. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Roza, D. dan Zafran. 1998. Pengendalian Vibrio harveyi Secara Biologis pada Larva Udang Windu (Penaeus monodon): Aplikasi Bakteri Penghambat. J. Penelitian Perikanan Indonesia: 4 (2) : 24-30.
Roza, D. dan F. Johnny. 1999. Pengendalian Vibrio harveyi pads Larva Kepiting Bakau (Scyila serrata Forsskal) Melalui Disinfeksi Induk Selama Fengeraman Telur. J. Penelitian Perikanan Indonesia: 5 (2) : 28-34.
Sugita. H. K. Shibuga. 1996. Antibacterial Capabilies of Instinal Bacteria I Fresh Water Cultured Fish. Aquaculture: 145: 195-203.
Suprapto, H. 2005. Studi Pendahuluan Bacillus sp. sebagai Probiotik untuk Mengurangi Jumlah Bakteri Vibrio sp. pada Hepatopangkreas dan Air Pemeliharaan. Jurnal Perikanan: Vol. VII (1): 54-59.
Tjahjadi, M.R. 1994. Bakteri Penghambat Vibrio harveyii untuk Menanggulangi Penyakit Berpendar pada Larva Udang Windu (Penaeus monodon Fabr.). Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Tompo, A., E. Susianingsih., M.E. Madeali, dan M. Atmomarsono. 2006. di dalam Murwantoko et. al. Pengaruh Vaksinasi untuk Pencegahan Penyakit pada Budidaya Udang Windu (Penaeus monodon Fabr.) di Tambak. 27 Juli. Yogyakarta: Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian UGM. 244-249.
Yuhana M, Normalina I, Sukenda. 2008. Pemanfaatan Ekstrak Bawang Putih Allium sativum untuk Pencegahan dan Pengobatan pada Ikan Patin Pangasionodon Hypophthalamus yang di Infeksi Aeromonas Hydropilla. IPB.Bogor.
Terimakasih kak