BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Indonesia adalah negara demokrasi. Demokrasi adalah prinsip bangsa atau negara dalam menjalankan pemerintahannya. Semenjak awal bergulirnya era reformasi, demokrasi semakin sering menjadi perbincangan seluruh lapisan bangsa ini. Demokrasi menjadi kosa kata umum yang digunakan masyarakat untuk mengemukakan pendapatnya. Hal ini didasarkan pada pengertian demokrasi menurut Abraham Lincoln. Demokrasi menurut Abraham Lincoln adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Salah satu perwujudan dari sistem demokrasi di Indonesia adalah otonomi daerah. Otonomi daerah adalah hal, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini otonomi daerah diatur menurut UU No. 32 Tahun 2004, peraturan ini merupakan revisi dari peraturan sebelumnya tentang otonomi daerah. Dengan demikian, masyarakat suatu daerah memperoleh kebebasan dalam mengatur dan membangun daerahnya. Dengan adanya otonomi daerah, pemerintahan indonesia di era reformasi ini berbanding terbalik dengan orde baru. Jika orde baru menerapkan sistem pemerintahannya secara sentralisasi kepada pemerintah pusat, maka pada era reformasi ini dengan adanya otonomi daerah, sistem pemerintahannya menjadi desentralisasi. Tujuan diberlakukannya otonomi daerah secara umum yakni agar pembangunan dan pembagian kekayaan alam di setiap daerah merata,kesenjangan sosial antar daerah tidak mencolok, dan tidak adanya ketimpangan sosial (Arianto, 2006).
Peraturan perundang – undangan yang pertama kali mengatur tentang pemerintahan daearah pascaproklasmasi kemerdekaan adalah UU No. 1 Tahun 1945. Undang – undang ini menekankan aspek cita – cita kedaulatan rakyat melalaui pengaturan pembentukan Badan Perwakilan Rakyat Daerah. Di dalam undang – undang ini ditetapkan tiga jenis daerah otonom, yaitu keresidenan, kabupaten, dan kota. Periode berlakunya undang – undang ini sangat terbatas. Sehingga dalam kurun waktu tiga tahun belumada peraturan pemerintah yang mengatur mengenai penyerahan urusan (desentralisasi) kepada daerah. Undang – undang ini kemudian diganti dengn Undang – Undang No. 22 Tahun 1948. Undang – Undang No. 22 Tahun 1948 berfokus pada pengaturan tentang susunan pemerintahab daerah yang demokratis. Di dalam undang – undang ini ditetapkan dua jenis daerah otonom, yaitu daerah otonom biasa dan daerah otonom istimewa.
Perjalanan sejarah otonomi daerah di Indonesia selalu ditandai dengan lahirnya suatu prosuk perundang – undangan yang menggantikan produk sebelumnya. Perubahan tersebut pada suatu sisi menandai dinamika orientasi pembangunan daerah di Indonesia dari masa ke masa. Periode otonomi daerah di Indonesia pasca UU No. 22 Tahun 1948 diisi dnegan munculnya bebrerapa UU tentang pemerintahan daerah, yaitu UU Nomor 1 Tahun 1957 (sebagai pengaturan tunggal pertama yang berlaku seragam untuk seluruh Indonesia), UU No. 18 Tahun 1965 (yang menganut sistem otonomi yang seluas – luasnya), dan UUNo. 5 Tahun 1974. Prinsip yang dipakai pada UU No. 5 Tahun 1974 dalam pemberian otonomi kepada daerah bukan lagi “otonomi yang riil dan seluas – luasnya,” tetapi “otonomi yang nyata dan bertanggung jawab”. Alasannya, pandangan otonomi daerah yang seluas – luasnya dapat menimbulkan kecenderungan pemikiran yang dapat membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan tidak serasi dengan maksud dan tujuan pemberian otonomi kepada daerah sesuai dengan prinsip – prinsip yang digariskan dalam GBHN yang berorientasi pada pembangunan dalam arti luas. Undang – undang ini berumur paling panjang, yaitu 25 tahun, dan baru diganti dengan Undang – Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang – Undang Nomor 25 Tahun 1999 setelah tuntutan reformasi bergilir. Sejalan dengan tuntuutan reformasi, tiga tahun setelah implementasi UU No. 22 Tahun 1999, dilakukan peninjauan dan revisi terhadap undang – undnag yang berakhir pada lahirnya UU No. 32 Tahun 2004 yang juga mengatur tentang pemerintah daerah.
Good governance dapat diartikan sebagai tindakan untuk mengarahkan, mengendalikan, atau memengaruhi masalah publik. Oleh karena itu, ranah good governance tidak terbatas pada negara atau birokrasi pemerintahan, tetapi juga pada ranah masyarakat sipil yang dipresentasikan oleh organisasi non-pemerintah dan sektor swasta. Pemerintah yang baik adalah baik dapalm proses maupun hasilnya. Semua unsur dalam pemerintahan bisa bergerak secara sinergis, tidak saling berbenturan, mmeperoleh dukungan dari rakyat, serta terbebas dari gerakan – gerakan anarkis yang bisa menghambat proses dan laju pembangunan (Rasul, 2009).
I.2. Tujuan
Adapun tujuan dari dibuatnya makalah ini adalah meningkatkan pengetahuan dan pemahaman mengenai otonomi daerah di Indonesia serta membahas permasalahan – permasalahan
I.3. Rumusan Masalah
- Apa itu otonomi daerah dan good governance?
- Adakah permasalahan yang terjadi akibat otonomi daerah?
- Bagaimana korupsi bisa menjadi akibat dari penyalahgunaan otonomi daerah?
BAB II
PEMBAHASAN
- 1. Pengertian otonomi daerah dan good governance
Istilah otonomi daerah dan desentralisasi pada dasarnya mempersoalkan pembagian kewenangan kepada organ – organ penyelenggara negara, sedankan otonomi menyangkut hak yang mengikuti pembagian wewenang tersebut. Otonomi daerah sebagai kerangka penyelenggaraan pemerintahan mempunyai visi yang dapat dirumuskan dalam tiga ruang lingkup utama yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya: politik, ekonomi, social, dan budaya.
Otonomi adalah buah dari kebijakan desentralisasi dan demokrasi, karenanya visi otonomi daerah di bidang politik harus dipahami sebagai sebuah proses untuk membuka ruang bagi lahirnya kepala pemerintahan daerah yang dipilih secara demokratis, memungkinkan berlangsungnya penyelenggaraan pemerintah yang responsive terhadap kepentingan masyarakat luas, dan memelihara suatu mekanisme pengambilan keputusan yang taat pada asas pertanggungjawaban public.
Visi otonomi daerah di bidang ekonomi mengandung makna bahwa otonomi daerah di satu pihak harus menjamin lancarnya pelaksanaan kebijakan ekonomi nasional di daerah, di pihak lain mendorong terbukanya peluang bagi pemerintah daerah mengembangkan kebijakan lokal kedaerahan untuk mengoptimalkan pendayagunaan potensi ekonomi di daerahnya. Visi otonomi daerah di bidang social dan budaya mengandung pengertian bahwa otonomi daerah harus siarahkan pada pengelolaan, penciptaan dan pemeliharaan integrase dan harmoni social. Visi otonomi daerah di bidang social dan budaya yang lainnya adalah memelihara dan mengembangkan nilai, tradisi, karya seni, karya cipta, Bahasa, dan karya sastra lokal yang dipandang kondusif dalam mendorong masyarakat untuk merespons positif dinamika kehidupan di sekitarnya dan kehidupan lokal.
Prinsip – prinsip pemberian otonomi daerah yang dijadikan pedoman dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagai berikut (Ubaedillah & Rozak, 2014):
- Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memerhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman daerah.
- Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata, dan bertanggung jawab.
- Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah kabupaten dan daerah kota, sedangkan pda daerah provinsi merupakan otonomi yang terbatas.
- Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi negara sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah.
- Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemadirian daerah otonom, dan karenanya dalam daerah kabupaten dan kota tidak ada lagi wilayah administrasi.
- Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi badan legislative daerah, baik fungsi lagislasi, fungsi pengawasan maupun fungsi anggraan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah.
- Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada daerah provinsi dalam kedudukannya sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan kewenangan pemerinntahan tertentu yang dilimpahkan kepada gubenur sebagai wakil pemerintah.
- Pelaksanan asas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak hanya dari pemerintah kepada daerah, tetapi juga dari pemerintah dan daerah kepada desa yang disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melapirkan pelaksanan dan mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskan.
Pembagian kekuasaan antara pusat dan daerah dilakuakn berdasarkan prinsip negara kesatuan tetapi dengan semangat fandalisme. Otonomi daerah yang diserahkan itu bersifat luas, nyata, dan bertanggung jawa. Disebut luas karena kewenangan sisa justru berada pada pemerintah pusat (seperti, pada negara federal); disebut nyata karena kewenangan yang diselenggarakan itu menyangkut yang diperlukan, tumbuh dan hidup, dan berkembang di daerah; dan disebut bertanggung jawab karena kewenangan yang diserahkan itu harus diselenggarakan demi pencapaian tujuan otonomi daerah, yaitu peningkata pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, penegmbangan kehidupan demokrasi, keadilan, dan pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah antar daerah. Di samping itu, otonomi seluas – luasnya (keleluasaan otonomi) juga mencakup kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraannya melalui perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian, dan evaluasi.
Dalam rangka negara kesatuan, pemerintah pusat masih memiliki kewenangan melakukan pengawasan terhadap daerah otonom. Tetapi, pengawasan yang dilakukan pemerintah pusat terhadap daerah otonom diimbangi dengan kewenangan daerah otonom yang lebih besar, atau sebaliknya, sehingga terjadi semacam keseimbangan kekuasaan. Keseimbangan yang dimaskud ialah pengawasan ini tidak lagi dilakuakn secara structural, yaitu bupati dan gubernur bertinda sebagai wakil pemerintah pusat sekaligus kepala daerah otonom, dan tidak lagi secara preventif perundang – undangan, yaitu peraturan daerah (perda) memerlukan persetujuan pusat untuk dapat berlaku (Ubaedillah & Razak, 2014).
Terkait dengan pembagian kewenangan antara pemerintah dengan pemerintah daerah terdapat 11 jenis kewenangan wajib yang diserahkan kepada daerah otonom kabupaten dan daerah otonom kota, yaitu:
- Pertanahan
- Pertanian
- Pendidikan dan kebudayaan
- Tenaga kerja
- Kesehatan
- Lingkungan hidup
- Pekerjaan umum
- Perhubungan
- Perdagangan dan industry
- Penanaman modal
- Koperasi
Selain itu, kabupaten atau kota yang mempunyai batas laut juga diberi kewenangan kelautan seluas 1/3 dan luas kewenangan provinsi yang 12 mil. Penjabaran kesebelas kewenangan itu, dalam arti lingkup kegiatan dan tingkat kewenagan yang akan diserahkan kepada daerah otonom kabupaten dan kota, masih harus menunggu penyesuaian sejumlah UU yang sejalan dengan paradigm dan jiwa UU No. 22 Tahun 1999 jo. UU No. 32 Tahun 2004.
Otonomi daerah diharapkan dapat menjadi salah satu pilihan kebijakan nasional yang dapat mencegah kemungkinan terjadinya disintegrasi nasional. Otonomi daerah merupakan sarana yang secara politik ditempuh dalam langkah memelihara keutuhan negara bangsa. Otonomi daerah dilakukan dalam rangka memperkuat ikatan semangat kebangsaan serta persatuan dan kesatuan diantara segenap warga bangsa. Namun demikian, dalam praktiknya kebijakan Otda telah banyak menimbulkan kesalahpahaman. Beberapa salah paham yang muncul dari berbagai kelompok masyarakat terkaiat dengan kebijakan dan implementasi otonomi daerah sebagai berikut:
Pertama, otonomi dikaitkan semata- mata dengan uang. Suatu pemahaman yang keliru tentang otonomi daerah, yaitu untuk berotonomi daerah harus mencukupi sendiri segala kebutuhannya, terutama dalam bidang keuangan. Ungkapan seperti ini sama sekali tidak dapat dipertanggung jawabkan. Uang bukan satu – satunya alat dalam menggerakkan roda pemerintahan. Kedua, daerah belum siap dan belum mampu. Tidak ada alasan untuk tidak siap dan tidak mampu karena pemerintah daerah sudah terlibat dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam waktu yang sudah sangat lama dan berpengalaman dalam administrasi pemerintahan. Ketiga, dengan otonomi daerah maka pusat akan melepaskan tanggung jawabnyauntuk membantu dan membina daerah. Bersamaan dengan kebijakan otonomi daerah, pemerintah pusat tetap harus tugas dan bertanggungjawab untuk memberi dukungan dan bantuan kepada daerah, baik berupa bimbingan teknis penyelenggaraan pemerintahan kepada personil yang ada di daerah, ataupun berupa dukungan keuangan.
Keempat, dengan otonomi daerah maka daerah dapat melakukan apa saja. Daerah dapat menempuh segala bentuk kebijakan apa saja sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan hukum dan undang – undang yang berlaku secara rasional. Kelima, otonomi daerah akan menciptakan raja – raja kecil di daerah dan memindahkan korupsi ke daerah. Untuk meghindari praktik kekuasaan tersebut, pilar – pilar penegakan demokrasi dan masyarakat madani (civil society) seperti partai politik, media massa, komisi pemberantasan korupsi (KPK), komisi Ombudsman, komisi kepolisian, komisi kejaksaan, dan LSM yang mengawasi praktik korupsi, lembaga legislatif, dan peradilan dapat memainkan perannya sebagai pengawas jalnnya pemerintahan daerah secara optimal.
Good Governance adalah pelaksanaan politik, ekonomi, dan administrasi dalam mengelola masalah – masalah bangsa. Pelaksanaan kewenangan tersebut dapat diakatakan baik (good atau sound) jika dilakukan dengan efektif dan efisien, responsif terhadap kebutuhan rakyat, dalam suasana demokratis, akuntabel, serta transparan. Prinsip – prinsip tersebut tidak hanya terbatas dilakukan di kalangan birokrasi pemerintahan, tetapi juga di sektor swasta dan lembaga – lemabaga non pemerintah.
Untuk merealisasikan pemerintahan yang profesional dan akuntabel yang bersandar pada prinsip – prinsip good governance, lembaga administrasi negara(LAM) merumuskan 9 aspek fundamental (asas) dalam good governance yang harus diperhatikan, yaitu:
- Partisipasi (participation)
- Penegakan hukum (rule of law)
- Transparansi (transparency)
- Responsif (responsiveness)
- Orientasi kesepakatan (consensus orientation)
- Kesetaraan (equity)
- Efektifitas (effectiveness) dan efisiensi (eficiency)
- Akuntabilitas (accountabilit)
- Visi strategis (strategic vision)
II.2. Permasalahan yang timbul setelah diberlakukannya otonomi daerah
Banyaknya permasalahan yang muncul menunjukan implementasi kebijakan ini menemui kendala-kendala yang harus selalu dievakuasi dan selanjutnya disempurnakan agar tujuannya tercapai. Beberapa persoalan itu adalah:
- Kewenangan yang tumpang tindih
Pelaksanaan otonomi daerah masih kental diwarnai oleh kewenangan yang tumpang tindih antar institusi pemerintahan dan aturan yang berlaku, baik antara aturan yang lebih tinggi atau aturan yang lebih rendah. Peletakan kewenangan juga masih menjadi pekerjaan rumah dalam kebijakan ini. Apakah kewenangan itu ada di kabupaten kota atau provinsi. Dengan pemberlakuan otonomi daerah yang mendadak mengejutkan pihak-pihak daerah yang tidak memiliki sumber daya manusia kualitatif.Terjadilah artikulasi otonomi daerah kepada aspek-aspek finansial tanpa pemahaman substatife yang cukup terhadap hakekat otonomi itu sendiri.
- Anggaran
Banyak terjadi keuangan daerah tidak mencukupi sehingga menghambat pembangunan. Sementara pemerintah daerah lemah dalam kebijakan menarik investasi di daerah. Di sisi yang lain juga banyak terjadi persoalan kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam penyusunan APBD yang merugikan rakyat. Dalam otonomi daerah, paradigma anggaran telah bergeser ke arah apa yang disebut dengan anggaran partisipatif. Tapi dalam prakteknya, keinginan masyarakat akan selalu bertabrakan dengan kepentingan elit sehingga dalam penetapan anggaran belanja daerah, lebih cenderung mencerminkan kepentingan elit daripada kepentingan masyarakat.
- Pelayanan Publik
Masih rendahnya pelayanan publik kepada masyarakat. Ini disebabkan rendahnya kompetensi PNS daerah dan tidak jelasnya standar pelayanan yang diberikan. Belum lagi rendahnya akuntabilitas pelayanan yang membuat pelayanan tidak prima. Banyak terjadi juga Pemerintah daerah mengalami kelebihan PNS dengan kompetensi tidak memadai dan kekurangan PNS dengan kualifikasi terbaik. Di sisi yang lain tidak sedikit juga gejala mengedepankan ”Putra Asli Daerah” untuk menduduki jabatan strategis dan mengabaikan profesionalitas jabatan.
- Politik Identitas Diri
Menguatnya politik identitas diri selama pelaksanaan otonomi daerah yang mendorong satu daerah berusaha melepaskan diri dari induknya yang sebelumnya menyatu. Otonomi daerah dibayang-bayangi oleh potensi konflik horizontal yang bernuansa etnis. Atau dapat dikatakan Bangkitnya egiosemtrisme ditiap daerah.
- Orientasi Kekuasaan
Otonomi daerah masih menjadi isu pergeseran kekuasaan di kalangan elit daripada isu untuk melayani masyarakat secara lebih efektif. Otonomi daerah diwarnai oleh kepentingan elit lokal yang mencoba memanfaatkan otonomi daerah sebagai momentum untuk mencapai kepentingan politiknya dengan cara memobilisasi massa dan mengembangkan sentimen kedaerahan seperti ”putra daerah” dalam pemilihan kepala daerah.
- Lembaga Perwakilan
Meningkatnya kewenangan DPRD ternyata tidak diikuti dengan terserapnya aspirasi masyarakat oleh lembaga perwakilan rakyat. Ini disebabkan oleh kurangnya kompetensi anggota DPRD, termasuk kurangnya pemahaman terhadap peraturan perundangan. Akibatnya meski kewenangan itu ada, tidak berefek terhadap kebijakan yang hadir untuk menguntungkan publik. Persoalan lain juga adalah banyak terjadi campur tangan DPRD dalam penentuan karir pegawai di daerah.
- Pemekaran Wilayah
Pemekaran wilayah menjadi masalah sebab ternyata ini tidak dilakukan dengan grand desain dari pemerintah pusat. Semestinya desain itu dengan pertimbangan utama guna menjamin kepentingan nasional secara keseluruhan. Jadi prakarsa pemekaran itu harus muncul dari pusat. Akan tetapi, yang terjadi adalah prakarsa dan inisiatif pemekaran itu berasal dari masyarakat di daerah. Ini menimbulkan problem sebab pemekaran lebih didominasi oleh kepentingan elit daerah dan tidak mempertimbangkan kepentingan nasional secara keseluruhan.
- Pilkada Langsung
Pemilihan kepala daerah secara langsung di daerah ternyata menimbulkan banyak persoalan. Pilkada langsung sebenarnya tidak diatur di UUD, sebab yang diatur untuk pemilihan langsung hanyalah presiden. Pilkada langsung menimbulkan besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk pelaksanaan suksesi kepemimpinan ini. Padahal kondisi sosial masyarakat masih terjebak kemiskinan. Disamping itu, pilkada langsung juga telah menimbulkan moral hazard yang luas di masyarakat akibat politik uang yang beredar. Tidak hanya itu pilkada langsung juga tidak menjamin hadirnya kepala daerah yang lebih bagus dari sebelumnya.
II.3. Korupsi sebagai akibat dari penyalahgunaan otonomi daerah
Korupsi saat ini menjadi masalah bukan hanya bagi Indonesia namun juga bagi masyarakat Internasional. Bagi masyarakat Internasional perang terhadap masalah korupsi ini diantaranya terlihat dari ketentuan OECD, mengenai Convention on Combating Bribery of Foreign Public Officials in International Business transaction, yang bertujuan untuk mencegah dan memberantas penyuapan terhadap pejabat publik asing dalam hubungannya dengan bisnis internasionl. Demikian pula setiap tahun Political and Economic Risk Consultancy (PERC), selalu mengumumkan hasil surveinya mengenai peringkat korupsi negara – negara di dunia, dimana dapat diketahui bahwa Indonesia merupakan salh satu negara yang masuk dalam pemeringkatan tingkat korupsinya (Rasul, 2009).
Otonomi daerah dibuat dengan tujuan agar daerah-daerah dapat mengelola secara mandiri segala sumberdaya, keuangan, maupun sumber-sumber lain sebagai pendapatan bagi daerah. Antusias yang tinggi “untuk meningkatkan kemajuan daerah” terlihat dari banyaknya daerah-daerah yang meminta dimekarkan sehingga terjadi pemekaran daerah besar-besaran di seluruh wilayah Indonesia. Yang menarik dari “proses mekarnya suatu daerah” ini adalah menjamurnya praktik korupsi yang dilakukan oleh oknum yang bernama pemimpin/petinggi di daerah.
Arus deras demokrasi di Indonesia menghadapi kendala sangat serius yakni perilaku korup dikalangan penyelenggara negara, pegawai pemerintah, maupun wakil rakyat. Hampir setiap hari masayarakat dibanjiri dengan berita kasus – kasus penyalahgunaan kekuasaan melalui tindakan pencurian uang rakyat. Hal yang sangat memprihatinkan, partai poltik dan dunia pendidikan pun ternyata tidak bebas dari praktik – praktik korupsi. Otonomi daerah yang selama ini dilakukan masih diwarnai oleh pengalihan tradisi korupsi di pusat pemerintahan ke daerah. Tindakan penyalahgunaan anggaran pembangunan dan biaya daerah (APBD) yang dilakukan oelh pemerintah daerah (PEMDA) dan anggota legislatif (DPRD) tak akalh ramainya diberitkan oleh media massa. Pengawasan yang dilakuakn oleh sejumlah lembaga, seperti badan pengawas keuangan dan pembangunan (BPKP) dan komisi pemberantasan korupsi (KPK) maupun lembaga swadaya masyarakat (LSM), seakan belum cukup untuk mengikis tindakana korupsi dikalangan pejabat negara.
Beberapa contoh kasus korupsi yang dilakukan pemimpin daerah dari Provinsi Sumatra Barat.
Pertama, Yumler Lahar. Yang menjabat Walikota Solok. Kasus yang menjeratnya adalah “pembatalan kerjasama antara Pemerintah Kota Solok, Sumatra Barat dan Investor Hariadi, yang menyebabkan kerugian negara”. Dalam hal ini negara dirugikan sebesar 1,3 miliar (Kompas, 11 Agustus 2004)
Kedua, kasus korupsi yang menimpa Wakil Bupati Agam. Umar diduga terlibat dalam kasus korupsi proyek swakelola perbaikan jalan lingkungan Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Agam tahun 2008 dengan kerugian negara RP 2.9 miliar (Kompas, selasa, 9 November 2010)
Ketiga, kasus pengalihan tanah negara di Kabupaten Solok yang dilakukan oleh Wakil Walikota Pariaman Helmi Darlis. Dalam kasus ini Kejati Sumbar telah menetapkan tujuh tersangka termasuk mantan Bupati Solok, Gusmal. Dalam kasus ini negara dirugikan sekitar Rp 288 juta (Padangekspress, Sabtu, 9 Juli 2011).
Keempat, Masriadi Martunus dan Edityawarman (Mantan Bupati dan Asisten III, Pemkab Tanah Datar, Sumbar) ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan bagi-bagi bunga deposito APBD Tanah Datar tahun 2001-2004 senilai Rp 1,7 miliar (Suara Karya, 16 Januari 2007)
Kelima, kasus korupsi yang menimpa Wakil Walikota Bukittinggi pada tahun 2009 (Kompas, 14 Maret 2009)
Keenam, kasus korupsi yang menimpa ketua DPRD Kota Payakumbuh Chin Star. Chin Star mengakui telah menyalahgunakan keuangan APBD di luar ketentuan Peraturan Pemerintah No 110 Tahun 2000, sekitar Rp 167 juta. Masih banyak contoh kasus lain yang dapat membuktikan betapa maraknya praktik korupsi yang dilakukan oknum yang berada di daerah.
JEREMY Pope menawarkan strategi untuk memberantas korupsi yang mengedepankan kontrol kepada dua unsur paling berperan di dalam tindak korupsi. Pertama, peluang korupsi; kedua, keinginan korupsi. Menurutnya, korupsi terjadi jika peluang dan keinginan dalam waktu bersamaan. Peluang dapat dikurangi dengan cara mengadakan perubahan secara sistematis, sedangkan keinginan dapat dikurangi dengan cara membalikkan siasat “laba tinggi, resiko rendah” menjadi “laba rendah, resiko tinggi” dengan cara menegakkan hukum dan menakuti secara efektif, dan menegakkan mekanisme akuntabilitas.
Pada hakikatnya, korupsi tidak dapat ditangkal hanya dengana satu cara. Penanggulangan korupsi harus dilakukan dengan pedekatan komprehensif, sistemis, dan terus menerus. Penanggulangan tindakan korupsi dapat dilakukan antara lain dengan: pertama, adanya political hill dan political action dari pejabat negara dan pimpinan lembaga pemerintah pada setiap tahun kerja organisasi untuk melakukan langkah proaktif pencegahan dan pemberantasan perilaku dan tindak pidanan korupsi. Tanpa kemauan kuat pemerintah untuk memberantas korupsi disegala lini pemerintahan, kampanye pemberantasan korupsi hanya slogan kosong belaka.
Kedua, penegakan hukum secara tegas dan berat. Proses eksekusi mati bagi koruptor di Cina, misalnya telah membuat sejumlah pejabat tinggi dan pengusaha di negri ini menjadi jera untuk melakukan tindak korupsi. Hal yang sam terjadi pula di Negara – negara maju di Asia, seperti Korea Selatan, Sinagpura, dan Jepang termasuk negara yang tidak pernah kompromi dengan pelaku korupsi. Tindakan ini merupakan shock terapi untuk membuat tindakan korupsi berhenti.
Ketiga, membangun lembaga – lembaga yang mendukung upaya pencegahan korupsi, misalnya Komisi Ombudsman sebagai lembaga yang memeriksa pengaduan pelayaann administrasi publik yang buruk. Pada beberapa negara, mandat Ombudsman mencakup pemeriksaan dan inspeksi atas sistem administrasi pemerintahan dalam hal kemampuannya mencegah tindakan korupsi aparat birokrasi. Di Indonesia telah dibentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tim penuntasan tindak pidana korupsi (Timtastipikor) dengan tuga melakukan investigasi individu dan lembaga, khusunya aparatur di pemerintah yang melakukan korupsi. Selain lembaga bentukan pemerintah, masyarakat juga membentuk lembaga yang mengemban misi tersebut, seperti Indonesia Corruption Watch (ICW) dan lembaga sejenis.
Keempat, membangun mekanisme penyelenggaraan pemerintah yang menjamin terlaksananya praktik good and clean governance, baik di sektor pemerintah, swasta, atau organisasi kemasyarakatan.
Kelima, memberikan pendidikan antikorupsi, baik melalui pendidikan formal maupun nonformal. Dalam pendidikan formal, sejak pendidikan dasar sampai perguruan tinggi diajarkan bahwa nilai korupsi adalah bentuk lain dari kejahatan.
Keenam, gerakan agama antikorupsi, yaitu gerakan membangun kesadaran keagamaan dan mengembangkan spiritualitas antikorupsi.
BAB III
PENUTUP
III.1. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa :
- Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dengan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
- Good governance adalah pelaksanaan politik, ekonomi, dan administrasi dalam mengelola masalah-masalah masyarakat secara baik, efektif, dan efisien.
- Masih terdapat penyimpangan dalam pelakasaa otonomi daerah oleh pemerintah daerah contohnya korupsi.
- Hubungan antara Good Governance dengan Otonomi Daerah
Upaya pelaksanaan tata pemerintahan yang baik, UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah merupakan salah salu instrumen yang merefleksikan keinginan pemerintah untuk melaksanakan tata pemerintahan yang baik dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Hal ini dapat dilihat dari indikator upaya penegakan hukum, transparansi dan penciptaan partisipasi. Dalam hal penegakan hukum, UU No. 32 Tahun 2004 telah mengatur secara tegas upaya hukum bagi para penyelenggara pemerintahan daerah yang diindikasikan melakukan penyimpangan.
Dari sistem penyelenggaraan pemerintahan sekurang-kurangnya terdapat 7 elemen penyelenggaraan pemerintahan yang saling mendukung tergantung dari bersinergi satu sama lainnya, yaitu :
- Urusan Pemerintahan
- Kelembagaan
3 Personil
- Keuangan
- Perwakilan
- Pelayanan Publik
- Pengawasan.
Ketujuh elemen di atas merupakan elemen dasar yang akan ditata dan dikembangkan serta direvitalisasi dalam koridor UU No. 32 Tahun 2004. Namun disamping penataan terhadap tujuan elemen dasar diatas, terdapat juga hal-hal yang bersifat kondisional yang akan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari grand strategi yang merupakan kebutuhan nyata dalam rangka penataan otonomi daerah di Indonesia secara keseluruhan yaitu penataan Otonomi Khusus NAD, dari Papua penataan daerah dari wilayah perbatasan , serta pemberdayaan masyarakat.Setiap elemen tersebut disusun penataannya dengan langkah-langkah menyusun target ideal yang harus dicapai, memotret kondisi senyatanya dari mengidentifikasi gap yang ada antara target yang ingin dicapai dibandingkan kondisi rill yang ada saat ini.
Meskipun dalam pencapaian Good Governance rakyat sangat berperan, dalam pembentukan peraturan rakyat mempunyai hak untuk menyampaikan aspirasi, namun peran negara sebagai organisasi yang bertujuan mensejahterakan rakyat tetap menjadi prioritas. Untuk menghindari kesenjangan didalam masyarakat pemerinah mempunyai peran yang sangat penting. Kebijakan publik banyak dibuat dengan menafikan faktor rakyat yang menjadi dasar absahnya sebuahnegara. UU no 32 tahun 2004 yang memberikan hak otonami kepada daerah juga menjadi salah satu bentuk bahwa rakyat diberi kewenangan untuk mengatur dan menentukan arah perkembangan daerahnya sendiri. Dari pemilihan kepala daerah, perimbangan keuangan pusat dan daerah (UU no 25 tahun 1999). Peraturan daerah pun telah masuk dalam Tata urutan peraturan perundang – undangan nasional (UU no 10 tahun 2004), Pengawasan oleh masyarakat.
Sementara itu dalam upaya mewujudkan transparansi dalam penyelenggaran pemerintahan diatur dalam Pasa127 ayat (2), yang menegaskan bahwa sistem akuntabilitas dilaksanakan dengan kewajiban Kepala Daerah untuk memberikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada Pemerintahan, dan memberikan laporan keterangan pertanggungjawaban kepada DPRD, serta menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada masyarakat.
Sistem akuntabilitas semacam ini maka terdapat keuntungan yang dapat diperoleh yakni, akuntabilitas lebih dapat terukur tidak hanya dilihat dari sudut pandang politis semata. Hal ini merupakan antitesis sistem akuntabilitas dalam UU No. 22 Tahun 1999 dimana penilaian terhadap laporan pertanggungjawaban kepala daerah oleh DPRD seringkali tidak berdasarkan pada indikator-indikator yang tidak jelas. Karena akuntabilitas didasarkan pada indikator kinerja yang terukur,maka laporan keterangan penyelenggaraan pemerintahan daerah tidak mempunyaidampak politis ditolak atau diterima. Dengan demikian maka stabilitas penyelenggaraanpemerintahan daerah dapat lebih terjaga.
Masyarakat memiliki hak untuk melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pelaksanaan pengawasan oleh masyarakat dapat dilakukan oleh masyarakat sebagai perorangan, kelompok maupun organisasi dengan cara: Pemberian informasi adanya indikasi terjadinya korupsi, kolusi atau nepotisme di lingkungan pemerintah daerah maupun DPRD. Penyampaian pendapat dan saran mengenai perbaikan, penyempurnaan baik preventif maupun represif atas masalah.
Informasi dan pendapat tersebut disampaikan kepada pejabat yang berwenang dan atau instansi yang terkait. Menurut Pasal 16 Keppres No. 74 Tahun 2001, masyarakat berhak memperoleh informasi perkembangan penyelesaian masalah yang diadukan kepada pejabat yang berwenang. Pasal tersebut berusaha untuk memberikan kekuatan kepada masyarakat dalam menjalankan pengawasan. Dengan demikian, jelas bahwa Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 dipersiapkan untuk menjadi instrumen yang diharapkan dapat menjadi ujung tombak pelaksanaan konsep good governance dalam penyelenggaraan pemerintahan di indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Arianto, H. 2006. Implementasi konsep good governance di Indonesia. Forum Ilmiah Indonusa 3(2): 24 – 28.
Rasul, S. 2009. Penerapan good governance di Indonesia dalam upaya pencegah tindak pidana korupsi. Mimbar Hukum 21(3) ; 409 – 628.
Ubaedillah, A. dan A. Rozak. 2014. Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani. Ed revisi Cetakan kesebelas. ICCE UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
izin pake/copas min
wah sangat bermanfaat dan membantu, terimakasih